---Prolog----
Siapa tak kenal Umar bin Abdul Aziz. Insan dengan sejarah menawan
akan masa kepemimpinannya saat menjabat sebagai khalifah. Ia membalikkan 180
derajat keadaan hidupnya dari yang bermewah harta menjadi penuh dengan
keterbatasan ketika dirinya diangkat sebagai khalifah. Ia juga yang dikenal
sebagai khalifah yang mampu mengembalikan kesejahteraan umat Islam, hingga
hampir saja pembagian zakat tak menemui si penerima karena kesejahteraan tiap
muslim di kala itu. Ia juga yang menjadi penyelamat wajah Daulah Umayah di mana
para raja berkuasa semena-mena dan perpecahan terjadi di mana-mana.
Tentu akan ada banyak karakteristik seorang mukmin yang bersemayam
dalam diri Umar bin Abdul Aziz hingga dirinya ditaati sebagai pemimpin dan
namanya tertera dalam daftar sejarah kebanggaan umat muslim. Termasuk salah
satu di antaranya adalah sifat tawadhu’ beliau.
Tawadhu’ sendiri berasal dari wada’a yang
berarti ‘merendahkan’. Tawadhu; merupakan perangai merendahkan kelebihan,
menundukkan hati agar tidak menunjukkan ia lebih baik dari pada orang lain. Belajar
memiliki karakter tawadhu’ menjauhkan seseorang dari sifat sombong. Perangai
ini penting bagi seorang pemimpin karena karakter sombong membuat si sombong
merasa orang yang ada di sekitarnya punya kedudukan tidak lebih baik dari
dirinya, membuat ada tembok pemisah antara si sombong dan orang-orang di
sekitarnya, yang akhirnya menjauhkan orang-orang di sekitarnya dari si sombong.
Dalam Al Quran surat As-Syu’araa’ ayat 215, Allah menyuruh seorang
muslim untuk merendahkan dirinya di hadapan para pengikutnya yang beriman. Ayat
ini menjadi dasar bagi seorang pemimpin untuk merendahkan diri di hadapan para
rakyatnya yang beriman, bukan menyombongkan diri. Namun Allah bukan hanya
menjadikan tawadhu’ sebagai tuntutan bagi umat muslim, tetapi juga akan Allah
naikkan derajat seorang muslim yang berperangai tawadhu’. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW bersabda “Sedekah tidak mungkin mengurangi harta. Tidaklah
seseorang suka memaafkan, melainkan ia akan semakin mulia. Tidaklah seseorang
bersikap tawadhu’ (rendah diri) karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan
derajatnya. “[HR. Muslim]. Sehingga tidak akan merugi orang yang memiliki sifat
tawadhu’, ia akan mulia di mata Allah, juga mulia di mata manusia.
Meneladani
Kepemimpinan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz
Sosok
Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a mewarisi darah dan ideologi Khalifah Umar bin
Al Khaththab r.a. Seorang penguasa yang jujur dan berpegang teguh pada amanah
yang diembannya. Walaupun memangku jabatan dalam usia 33 tahun, keadilan dan
kebijaksanaan khalifah yang disebut-sebut sebagai khulafaur rasyidin kelima ini
terasa oleh rakyat secara umum. Kesalihannya sebagai seorang penguasa pantas
dijadikan teladan oleh penguasa muslim dimanapun dan sampai kapanpun.
Tatkala Khalifah demi khalifah datang pergi silih berganti,
disebut-sebutlah nama Umar bin Abdul Azir untuk menjadi penggantinya. Lalu apa
kata Umar ketika namanya digadang-gadang menjadi calon khalifah yang baru.
“Jangan sebut-sebut nama saya, katakan bahwa saya tidak menyukainya. Dan jika
tidak ada yang menyebut namanya, maka katakan, jangan mengingatkan nama saya,”
ujar Umar bin Abdul Aziz.
Suatu ketika dibuatlah rekayasa, berupa surat
wasiat, seolah-olah khalifah sebelumnya menetapkan Umar sebagai penggantinya.
Begitu diumumkan di depan publik, seluruh hadirin pun serentak menyatakan
persetujuannya. Tapi tidak dengan Umar. Ia justru terkejut, seperti mendengar
petir di siang bolong. Bukan hanya terkejut, Umar bin Abdul Aziz bahkan
mengucapkan: Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’uun, dan
bukannya Alhamdulillah seperti kebanyakan para pejabat di
negeri ini. Bagi Umar, tahta yang disodorkan adalah musibah, bukan
kenikmatan.
Sosok Umar bin Abdul Aziz bukanlah tipe manusia
yang berambisi untuk menjadi pemimpin, apalagi mengejarnya. “Demi Allah, ini
sama sekali bukanlah atas permintaanku, baik secara rahasia ataupun
terang-terangan,” ujar Umar.
Di atas mimbar Umar berkata: “Wahai manusia,
sesungguhnya aku telah dibebani dengan pekerjaan ini tanpa meminta pendapatku
lebih dulu, dan bukan pula atas permintaanku sendiri, juga tidak pula atas
musyawarah kaum muslimin. Dan sesungguhnya aku ini membebaskan saudara-saudara
sekalian dari baiat di atas pundak saudara-saudara, maka pilihlah siapa yang
kamu sukai untuk dirimu sekalian dengan bebas!”
Ketika semua hadirin telah memilihnya dan
melantiknya sebagai Khalifah, Umar berpidato dengan ucapan yang menggugah.
“Taatlah kamu kepadaku selama aku ta’at kepada Allah. Jika aku durhaka kepada
Allah, maka tak ada keharusan bagimu untuk taat kepadaku.”
Jika kebanyakan pejabat berpesta ria saat
kenaikan pangkat dan meraih kekuasaan, Umar bin Abdul Aziz malah berpesta air
mata, ia takut pertanggungjawabanya di hadapan Allah pada hari kiamat kelak tak
mampu dipikulnya.
Sejarah mencatat langkah beliau yang spektakuler
dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan memulai babak baru pemerintahan
yang bersih. Gebrakan
pertama beliau sebagai seorang pemimpin yang kreatif dan inovatif tatkala
menerima amanah jaba-tan sebagai khalifah adalah mengembalikan semua harta dan
tanah yang diambil oleh pemerintahan khilafah Bani Umayyah sebelum beliau dari
masyarakat melalui tekanan kekuasaan kepada para pemiliknya. Bilamana pemilik
tanah dan harta aslinya sudah tidak diketahui lagi maka hata dan tanah itu
dikembalikan kepada baitul mal, untuk digunakan bagi keperluan kaum muslimin.
Para pejabat dari kalangan Bani Umayyah melepaskan seluruh harta yang
mereka bagi-bagikan, harta sumbangan, dan harta yang mereka ambil.
Tentu saja langkah tersebut diikuti secara serempak oleh para
pejabat dari kalangan Bani Umayyah sehingga dengan gerakan yang beliau lakukan
dalam tempo sekitar dua tahun, krisis ekonomi yang terjadi pada pemerintahan
sebelumnya bisa diatasi. Bahkan distribusi kekayaan sedemikian merata sehingga
tidak ada rakyat yang menjadi mustahiq zakat lantaran fakir atau miskin.
Pengentasan kemiskinan yang beliau lakukan bukan sekedar retorika. Karena
memang terjadi gerakan ekonomi pro rakyat tersebut dari atas secara nyata
Dan jika kebanyakan pejabat bermegah-megahan
saat mendapat kedudukan, Umar justru hidup dalam kesederhanaan, bahkan amat
sederhana, dan minim sekali. Zuhud dan wara sudah menjadi pribadi Umar sebelum
ia menjadi Khalifah. Ketika ia disodori kendaraan “dinas” yang supermewah
berupa beberapa ekor kuda tunggangan, lengkap dengan kusirnya, Umar menolak,
dan malah menjual semua kendaraan itu, lalu uang hasil penjualannya diserahkan
ke Baitul Mal. Termasuk semua tenda, permadani dan tempat alas kaki yang
biasanya disediakan untuk khalifah yang baru.
Bila para pejabat sebelumnya selalu ingat
kepentingan pribadinya saat menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara, maka
Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberikan teladan gerakan para pejabat yang
selalu ingat tugas negara yang dipikulkan oleh Allah SWT kepada-nya saat sedang
menikmati kehidupan pribadi. Dengan cara berfikir seperti itu niscaya tidak ada
kemaslahatan rakyat yang tidak diurus dan tidak ada kebutuhan rakyat yang tak
terpenuhi serta tidak ada keinginan rakyat yang terabaikan.
Kesederhaan Umar dibuktikan ketika ia melepas
pakaiannya yang mahal dan menggantinya dengan pakaian kasar – hanya
delapan dirham. Semua pakaian, minyak wangi, juga tanah perkebunan yang
diwarisinya, juga dijual, seharga 23
ribu dinar atau sekitar 11,5 miliar rupiah dan dia masukkan ke Baitul Mal.
Ada
salah satu momen yang menggambarkan betapa tawadhu’nya Umar:
Kisah tersebut terjadi ketika suatu malam ada seseorang yang
bertamu ke rumah Umar bin Aziz. Kala itu sang khalifah sedang menulis di tengah
kondisi cahaya lampu yang mulai redup. Sang tamu yang melihat keadaan itu
kemudian ingin memperbaiki lampu tersebut, namun hal itu dicegah oleh sang
khalifah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz ingin memuliakan tamunya sehingga tidak
memperbolehkan tamunya merepotkan diri untuk membenahi lampu yang mulai redup
itu. Sang tamu tak berhenti sampai di situ, ia kemudian menganjurkan agar Umar
bin Abdul Aziz membangunkan pembantu beliau, namun anjuran si tamu juga ditolak
oleh sang khalifah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak ingin mengganggu
pembantunya beristirahat. Hingga pada akhirnya sang khalifah sendiri yang turun
tangan memperbaiki lampu tersebut.
Kisah di atas menunjukkan betapa rendah hatinya khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Ia tidak sombong atas kedudukannya sebagai khalifah yang sebenarnya
bisa saja menyuruh si tamu yang berkunjung untuk memperbaiki lampunya dengan
kedudukan beliau sebagai khalifah, namun beliau lebih memilih memuliakan tamu
tersebut. Atau bisa saja sang khalifah membangunkan pembantu beliau yang
sesudah beristirahat, namun sang khalifah lebih memilih untuk tidak mengganggu
istirahatnya si pembantu.
khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah seorang
pejabat yang memiliki visi dan karakter kenegarawanan. Yakni, seorang pejabat
yang:
Pertama, memiliki pandangan hidup yang mendasar, yakni
pemikiran yang menyeluruh tentang kehidupan, manusia, dan alam semesta,
sehingga dia paham bahwa hidup bukanlah semata hari ini, saat dia bergelimang
kekuasaan, tapi juga nanti saat dia ditanya tentang seluruh perbuatannya
tatkala dia berkuasa. Lihatlah ucapan beliau kepada sang istri: 'Engkau tahu,
aku telah diserahi urusan seluruh umat ini, yang berkulit putih maupun hitam,
lalu aku ingat akan orang yang terasing, peminta-minta yang merendah, orang
kehilangan, orang-orang fakir yang sangat membu-tuhkan, tawanan yang tertekan
jiwanya dan lain sebagainya di berbagai tempat di bumi ini. Dan aku tahu
persis, Allah SWT pasti akan menanyaiku tentang mereka, dan Muhammad saw akan
membantahku dalam masalah mereka (jika aku mangkir); karena itulah aku takut
akan diriku sendiri”. Beliau tidak berkata : “Ayo kamu minta apa saja
pasti kukabulkan, karena sekarang aku menjadi orang nomor satu di Negara ini!”.
Istri pejabat umumnya memanfaatkan kedudukan
suaminya untuk hidup mewah, tapi Umar justru menawarkan pilihan, antara hidup
bersama dirinya dengan melepas semua harta perhiasan yang dikenakan, termasuk
permata, mutiara, perabotan rumah tangga yang mahal harganya, atau berpisah.
Akhinya, sang istri memilih hidup bersahaja bersama suaminya yang bertahtakan
khilafah.
Kiranya beliau yang juga dikenal sebagai pejabat
yang memiliki ilmusiyasah
syar'iyyah faham
betul bagaimana mengimplementasikan sabda Nabi: “Seorang Imam yang diberi
amanat memimpin manusia adalah laksa penggembala dan dia akan dimintai
pertanggungjawaban akan rakyat yang dipimpinnya”.
Kedua, memiliki pandangan hidup yang jelas bagaimana
mewujudkan kebahagiaan yang nyata, yakni melakukan sesuatu yang menyebabkan
Allah SWT penguasa alam semesta dan penguasa hari kiamat meridoinya. Dari
ungkapan beliau r.a. kepada sang istri di atas jelas bahwa perhatian beliau
adalah bagaimana menjalankan tanggung jawab-nya sebagai penguasa agar
mendaptkan ridlo Allah dan terhindar dari murka Allah SWT. Bukan seperti para
penguasa muslim hari ini yang hanya sekedar berdoa: Allahumma ini as aluka
ridloka wal jannah wa a'udzubika min skhotika wan naar (Ya Allah aku mohon
ridlo-Mu dan surga-Mu dan aku berlindung dari murka-Mu daqn neraka-Mu)
sementara kebijakan yang dibuatnya justru me-ngantarkannya kepada murka Allah
dan menjauhi ridlo-Nya.
Ketiga, memiliki pengetahuan dan pemahaman peradaban yang
mengangkat kehidupan rakyat yang dengan peradaban tersebut mereka memiliki
kondisi kehidupan yang lebih baik, memiliki taraf berfikir yang lebih tinggi
disertai nilai-nilai luhur dan ketentraman abadi. Dari ungkapan beliau kepada
sang istri di atas tampak jelas bahwa memiliki visi dan misi negarawan yang
mengangkat derajat kaum dhuafa dan para tawanan agar mendapatkan kebebasan dan
terpenuhi kecukupan kebutuhan hidup mereka sehingga perasaan mereka aman dan
hati mereka menjadi tentram.
Dengan visi dan misi kenegarawan tersebut
Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil berbagai kebijakan yang pro rakyat.
Antara lain beliau memberikan gaji kepada para hakim (qadli) lebih tinggi
daripada para pegawai yang lain, yakni sekitar 400 dinar atau sekitar 200 juta
per tahun. Ini diberikan agar qadli menjalan-kan tugasnya dengan adil dan
dilandasi ketaqwaan sehingga tidak mudah dibeli oleh orang-orang yang hendak
berlaku curang dalam perkara. Beliau juga melarang para pejabat dan gubernur
melakukan bisnis. Sebab bisnis penguasa itu akan menimbulkan fasad atau
kerusakan jiwa bagi yang bersangkutan dan akan menimbulkan kehancuran
(mahlakat) bagi rakyat. Sebab penguasa akan melakukan monopoli dan memak-sakan
harganya kepada rakyat demi penumpukan modal bagi dirinya.
Itulah akhlak pemimpin seorang Umar bin Abdul
Aziz, jauh dari gaya perlente, berpakaian mahal, kendaraan mewah, apalagi
makanan yang lezat. Seharusnya pejabat di negeri ini meneladani
kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.
---Epilog----
Sistem pemerintahan Islam yang diterapkan sejak
masa Nabi dan sahabat-nya hingga masa-masa kekuatan daulah Utsmaniyyah
merupakan lahan subur dari tumbuhnya para negarawan, baik mereka memegang
tampuk pemerintahan seperti Khalifah Umar bin al Khaththab, Khalifah Ali bin
Abi Thalib, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Mu'tashim Billah, Sultan
Shalahudin Al Ayyubi, Sultan Sulaiman Al Qanuni, maupun yang tidak memegang
tampuk pemerintahan seperti Abu Dzar Al Ghifari, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam
Ibnu Taimiyyah, dan para ulama lainnya.
Hari ini para penguasa yang seolah-olah merupakan
pilihan hati rakyat terbukti banyak menyakiti hati rakyat karena kebijakan
mereka yang tidak pro rakyat, malah pro kepada kaum kapitalis asing yang
menjajah negeri-negeri kaum muslimin.
Masa sekarang inilah masa fitnah karena kaum muslimin miskin pemimpin yang memiliki visi kenegarawanan. Mereka tidak lebih seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW : ”Akan datang kepada kalian tahun-tahun tipu daya. Pada waktu itu pendusta di benarkan sedangkan orang yang benar didustakan. Pengkhianat dipercaya sedangkan yang amanah dianggap khianat. Pada saat itu akan berbicara ar ruwaibidloh”. Ditanyakan apakah ar ruwaibidloh? Nabi Menjawab: ”Orang-orang yang bodoh tentang urusan publik”.
Masa sekarang inilah masa fitnah karena kaum muslimin miskin pemimpin yang memiliki visi kenegarawanan. Mereka tidak lebih seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW : ”Akan datang kepada kalian tahun-tahun tipu daya. Pada waktu itu pendusta di benarkan sedangkan orang yang benar didustakan. Pengkhianat dipercaya sedangkan yang amanah dianggap khianat. Pada saat itu akan berbicara ar ruwaibidloh”. Ditanyakan apakah ar ruwaibidloh? Nabi Menjawab: ”Orang-orang yang bodoh tentang urusan publik”.
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar