Rumah, 7 Juni 2015
Makin kesini, hidup bukan lagi sebagai mahasiswa, hidup kerasa makin
realistis dan keras ya. Nah, jadi ceritanya sekarang saya mau nulis apa
yang bisa sedikit saya simpulkan hidup di usia rawan-galau-karena-belum-nikah
ini #lah ujung-ujungnya.
Berdasarkan hasil pengamatan #uhuk, kunjungan, dan diskusi saya ke rumah
beberapa kawan yang sudah beberapa tahun menikah saya mendapatkan beberapa hal
penting yang patut untuk dipikirkan, dilaksanakan dan diselesaikan saat
memutuskan untuk menikah muda.
Yang pertama, kesiapan financial. Dulu, tapi ga dulu-dulu banget saat saya
masih jadi mahasiswa, saya pikir masalah financial ini cukup dipusingkan oleh
pihak lelaki sajalah, karena mereka adalah pihak yang seharusnya menafkahi. Iya
sih, but look
around you, banyak banget
lho, pasangan muda yang tiap hari bertengkar karena masalah duit,
ujung-ujungnya banyak juga yang cerai. Mungkin kamu belum tau karena mereka
bukan selebritis dan ribut-ributnya ga muncul di teve. Jadi saya pikir yah,
perempuan boleh kok bekerja. Kebutuhan perempuan kan selalu lebih banyak
daripada laki-laki, apalagi kalo dengan penghasilannya sendiri dia bisa
membantu suami menambah kas keluarga. Bagian sulitnyanya adalah, mencari
pekerjaan yang bisa tetap menomorsatukan keluarga. Yah, mungkin bisa usaha
sendiri, atau kerjanya dari rumah. Nah.. saya juga masih bingung soal ini. Tapi,
gimana kalo suaminya ga ngijinin istrinya bekerja? suami kan pemimpin keluarga,
harus diikuti.
Yang kedua, kesiapan mental. Manusia pada usia muda, yang sebelumnya
terbiasa tinggal nyaman dan bahagia dengan orangtua begitu masuk ke peran rumah
tangga yang banyak banget tanggungjawabnya suka kaget sih. Dampaknya, bisa
banget liat cara ngasuh anaknya. Suka kasian kalo ada anak-anak usia batita
atau balita yang ibunya ngasih makanan yang banyak banget garam bahkan penyedap
rasanya, atau orangtua yang dikit-dikit ngebentak anaknya, ngatain –maap- bodoh
dll, atau orangtua yang ga ngajarin sopan santun, kejujuran, buang sampah
dengan benar, dsb.
Setelah dibaca ulang 2 paragraf di atas, kaya’nya saya sok banget ya nulis
gitu.. padahal sendirinya masih single. Pokonya banyak lah yang harus disiapkan
kalo mau nikah.. misalkan masih susah bangun pagi, masih suka nunda shalat,
belum bisa bedain lada dengan ketumbar, ga bisa nahan diri kalo liat barang
bagus di mall.. Apalagi kalo masih suka ngambek, dikit-dikit perlu me time. Hal-hal
kaya’ gini kan harus dibereskan dulu dengan diri kita sendiri.
Saya pribadi pengen
banget ketika si Mr. Right datang nanti, siapapun itu, saya sudah menyelesaikan semua targetan-targetan dan masalah saya
pribadi, jadi saya ga akan melemparkan kebingungan saya kepada dia dan begitu juga sebaliknya. Walaupun
targetan ato goal hidup itu akan selalu diupdate dan direvisi setiap waktunya. Misalkan,
goal saya 3 tahun yang lalu: bisa masak sayur bening, laporan praktikum
saya sudah beres saat weekend. Goal saya tahun lalu,: bisa bake roti
yang ga bantet, segera wisuda, lebih baik dalam managemen waktu. Lalu goal
saya sekarang: punya penghasilan sendiri, bisa hapal juz sekian, kooperatif dan helpfull, dst. Saya ingin kami bertemu dalam pribadi yang
kuat dan focus, sebagai mitra tim yang baru, jadi kami bisa saling mengatakan, “I’m done with my self… what
can we do together now?”
Pelajaran moralnya: Ga usah
terlalu ngomporin nikah muda. Titik
kritisnya bukan pada usia berapa saya akan menikah, tapi apa saja yang sudah
saya siapkan untuk menikah. Apalagi kalo terpaksa menikah gara-gara kasus hamil pra nikah. Ga usah
macem-macem makanya!
0 komentar:
Posting Komentar