Senin, 08 Juni 2015

What Can We Do Together Now?

Leave a Comment


Rumah, 7 Juni 2015

Makin kesini, hidup bukan lagi sebagai mahasiswa, hidup kerasa makin realistis dan keras ya. Nah, jadi ceritanya sekarang saya mau nulis apa yang bisa sedikit saya simpulkan hidup di usia rawan-galau-karena-belum-nikah ini #lah ujung-ujungnya.

Berdasarkan hasil pengamatan #uhuk, kunjungan, dan diskusi saya ke rumah beberapa kawan yang sudah beberapa tahun menikah saya mendapatkan beberapa hal penting yang patut untuk dipikirkan, dilaksanakan dan diselesaikan saat memutuskan untuk menikah muda. 

Yang pertama, kesiapan financial. Dulu, tapi ga dulu-dulu banget saat saya masih jadi mahasiswa, saya pikir masalah financial ini cukup dipusingkan oleh pihak lelaki sajalah, karena mereka adalah pihak yang seharusnya menafkahi. Iya sih, but look around you, banyak banget lho, pasangan muda yang tiap hari bertengkar karena masalah duit, ujung-ujungnya banyak juga yang cerai. Mungkin kamu belum tau karena mereka bukan selebritis dan ribut-ributnya ga muncul di teve. Jadi saya pikir yah, perempuan boleh kok bekerja. Kebutuhan perempuan kan selalu lebih banyak daripada laki-laki, apalagi kalo dengan penghasilannya sendiri dia bisa membantu suami menambah kas keluarga. Bagian sulitnyanya adalah, mencari pekerjaan yang bisa tetap menomorsatukan keluarga. Yah, mungkin bisa usaha sendiri, atau kerjanya dari rumah. Nah.. saya juga masih bingung soal ini. Tapi, gimana kalo suaminya ga ngijinin istrinya bekerja? suami kan pemimpin keluarga, harus diikuti. 

Yang kedua, kesiapan mental. Manusia pada usia muda, yang sebelumnya terbiasa tinggal nyaman dan bahagia dengan orangtua begitu masuk ke peran rumah tangga yang banyak banget tanggungjawabnya suka kaget sih. Dampaknya, bisa banget liat cara ngasuh anaknya. Suka kasian kalo ada anak-anak usia batita atau balita yang ibunya ngasih makanan yang banyak banget garam bahkan penyedap rasanya, atau orangtua yang dikit-dikit ngebentak anaknya, ngatain –maap- bodoh dll, atau orangtua yang ga ngajarin sopan santun, kejujuran, buang sampah dengan benar, dsb.

Setelah dibaca ulang 2 paragraf di atas, kaya’nya saya sok banget ya nulis gitu.. padahal sendirinya masih single. Pokonya banyak lah yang harus disiapkan kalo mau nikah.. misalkan masih susah bangun pagi, masih suka nunda shalat, belum bisa bedain lada dengan ketumbar, ga bisa nahan diri kalo liat barang bagus di mall.. Apalagi kalo masih suka ngambek, dikit-dikit perlu me time. Hal-hal kaya’ gini kan harus dibereskan dulu dengan diri kita sendiri. 

Saya pribadi pengen banget ketika si Mr. Right datang nanti, siapapun itu, saya sudah menyelesaikan semua targetan-targetan dan masalah saya pribadi, jadi saya ga akan melemparkan kebingungan saya kepada dia dan begitu juga sebaliknya. Walaupun targetan ato goal hidup itu akan selalu diupdate dan direvisi setiap waktunya. Misalkan, goal saya 3 tahun yang lalu: bisa masak sayur bening, laporan praktikum saya sudah beres saat weekend. Goal saya tahun lalu,: bisa bake roti yang ga bantet, segera wisuda, lebih baik dalam managemen waktu. Lalu goal saya sekarang: punya penghasilan sendiri, bisa hapal juz sekian, kooperatif dan helpfull, dst. Saya ingin kami bertemu dalam pribadi yang kuat dan focus, sebagai mitra tim yang baru, jadi kami bisa saling mengatakan, “I’m done with my self… what can we do together now?”

Pelajaran moralnya: Ga usah terlalu ngomporin nikah muda. Titik kritisnya bukan pada usia berapa saya akan menikah, tapi apa saja yang sudah saya siapkan untuk menikah. Apalagi kalo terpaksa menikah gara-gara kasus hamil pra nikah. Ga usah macem-macem makanya!


0 komentar:

Posting Komentar