Senin, 21 April 2014

Sosial Media

Leave a Comment
Cukup lama tidak mampir. Selain karena memang tidak disempatkan, saya lumayan gentar dengan betapa kuat efeknya ranah sosial media belakangan ini. One post, just one post and a thousand involved.

Sosial media mungkin bisa jadi benua terbesar jika seluruh penggunanya digabungkan. Jauh lebih banyak dari penonton televisi maupun pendengar radio. Penduduknya luar biasa beragam, dari yang berkulit putih, kuning sampai yang hitam. Rentang usia dari yang baru masuk taman bermain kanak-kanak sampai yang sudah tak sanggup berdiri. Tersebar dari segala penjuru timur, barat, utara dan selatan bumi. Semuanya berdiri di bawah bendera akses internet dan menjadi candu bagi sebagian yang lain. Apalagi dengan kemudahan akses dari telepon pintar atau smartphone, dicari saat bangun tidur dan tetap digenggam sampai mau tidur kembali. Mungkin pula ada yang sudah murtad dari dunia nyata dan memilih tinggal menetap di dunia maya. Internet sudah menjadi salah bagian kebutuhan primer.

Indonesia termasuk Negara paling bersahabat dengan social media. Satu orang bisa mempunyai 10 jenis akun social media yang berbeda, mulai dari facebook, twitter, tumblr, instagram, plurk, path, G+, historee, dan masih banyak lagi. Semuanya terhubung hingga satu postingan yang sama dari orang yang sama bisa kita baca dari seluruh akun social media nya. Yang ditulis pun beragam, dari yang super sepele seperti bingung mau makan apa sampai yang maha penting seperti bencana internasional. Satu aturan yang pasti berlaku: tidak ada privasi atau wilayah pribadi dalam sosial media.

Apa yang kita posting, tulis, maupun unggah akan menjadi konsumsi publik, walaupun kita bukan selebritis. Yup…  kita tentu masih ingat dengan kasus oknum D yang dengan ringannya menulis dia merasa di risih dengan ibu-ibu hamil di commuter line. Satu postingan pribadi di path, dan sekarang sebagian masyarakat sebuah negara yang punya lebih dari 250 juta penduduk sedang membully-nya. Ada pula kicauan ga penting dari oknum F yang malah selalu jadi bahan tertawaan seantero jagad twitter. Dari kasus oknum D dan oknum F ini tentu kita bisa belajar etika bersosial media, jangan gegabah dalam berstatement di sosial media. You’re what you post.

Banyak pula contoh lain yang bisa kita lihat. Seorang yang sebelumnya dipuji-puji bisa tiba-tiba dicaci maki karena sebuah postingan di akun sosial medianya. Memang tidak adil, tapi kita semakin mudah menghakimi seseorang dari apa yang dia posting. Jika kebanyakan posting foto makanan, berarti dia suka makan. Jika sering posting foto selfie berarti dia narsis. Jika banyak puisi-puisi berarti dia romantis. Selanjutnya semakin mudah, dia orang yang sering galau, dia omdo doang, dia bijak banget, tukang ngeluh, tukang pamer, dan seterusnya. Kita sering lupa bahwa social media sering menipu. Kepura-puraan. Apa yang diposting terkadang berbalik 1800 dengan keadaan sebenarnya. Yang paling keliatan ceria bisa jadi yang paling muram, yang kelihatan paling shalih bisa jadi malah yang paling brengsek.  

Adanya, semakin banyak orang-orang kesepian di sekitar kita. Menyendiri di tengah keramaian, senyum-senyum sendiri menatap layar gadgetnya. Benarkah itu “sosial” media?


Selamat datang di dunia maya.


- Malang, 21 April 2014 -


Read More...

Selasa, 08 April 2014

Bersyukur Lalu Berbahagialah!

Leave a Comment
"Bila masalah hidupmu masih seputar permasalahan patah hati, banyak tugas, dibenci orang, susah mudik, makanan tidak enak, sakit perut, kehabisan uang bulanan, tidak bisa ganti HP terbaru, tidak bisa jalan-jalan keluar kota, dan sejenisnya. Maka bersyukurlah, karena masalahmu adalah masalah sejuta umat. Dan karena berjuta-juta yang mengalaminya, berhentilah mengeluh. Karena mengeluh sama sekali tidak akan mengurangi semua itu.

Bila masalah hidupmu masih seperti tadi, mari saya ajak berjalan-jalan menemui sesuatu yang mungkin kamu kira hanya ada dalam novel, dalam cerita, atau sinema elektronik. Kalau kamu belum menemui hal-hal semacam itu, bersyukurlah karena mungkin Tuhan memang sengaja melindungimu.

Percayalah, hidup diluar dirimu tidak pernah baik-baik saja. Jika kamu bertemu teman-temanmu nampak begitu ceria. Mereka hanya tidak ingin orang lain tahu mengenai masalah hidupnya. Disimpannya rapat, ditangisinya kala sendiri di malam hari kesepian. 

Kau harus tahu sejenak, bahwa hidup di luar dirimu tidak pernah baik-baik saja. Di luar sana, di luar dirimu, terjadi di orang lain. Mereka mengalami hidup yang berat. Kehilangan keluarganya sejak kecil, tidak tahu siapa orang tuanya. Orang tua yang bercerai, keluarga yang broken home. Rumah tanpa lantai keramik dan dinding semen, melainkan tanah dan anyaman bambu. Perempuan yang direnggut kehormatannya oleh laki-laki. Laki-laki yang melihat adik perempuannya meninggal. Anak muda yang bermimpi sekolah. Anak-anak yang kehilangan matanya menjadi buta. Semua itu terjadi dan tentu saja di luar dirimu, dan terjadi di orang lain.

Percayalah, bila masalah hidupmu masih seputar patah hati, dicuekin laki-laki, dibiarkan perempuan. Lantas kamu merasa menjadi manusia paling merana di dunia. Pecahkanlah seluruh kaca cermin di rumahmu karena cermin itu tidak menjadi berguna. 

Diluar sana, kehidupan manusia begitu kompleks. Dan sekali lagi, bila kamu merasa orang-orang yang kamu temui itu baik-baik saja. Mereka telah belajar bagaimana menyembunyikan kerusuhan hatinya, masalah hdiupnya, dan apapun itu. Mereka berusaha membahagiakan dirinya sendiri.

Lalu, diwaktu-waktu tertentu mereka menjadi tidak berdaya. Dan kamu tidak akan pernah tahu itu kapan, karena kamu mungkin tidak pernah bisa menyaksikannya. Sebab, mereka akan selalu menyembunyikan.
Bandung, 30 Maret 2014  (c)kurniawangunadi"

Tulisan mas Gun yang iya banget lah ini, meskipun saya ga pernah merasa sebagai orang paling sedih, muram, merana, durja, se jagad raya. Bahkan sebaliknya, saya merasa sungguh-sungguh beruntung, punya fisik yang sempurna, akal yang sehat, mental yang aware, keluarga superb, rumah yang nyaman, teman-teman yang baik, dan semuaaaaa yang telah Allah pinjamkan pada saya saat ini. Masalah yang ada sekarang tu ga ada apa-apanya ketimbang nikmat yang Dia beri. Pernah denger, kalo kita dikasih masalah itu lagi, itu lagi.. mungkin tandanya karena kita belum mampu melewatinya, kita belum lulus. Sehingga Allah masih ngasih lagi ujian yang sama, sebelum ngasih ujian baru yang levelnya lebih tinggi. 

Kemarin pula sempat melihat dua super inspiring video, satu saat pagi di sini , satunya lagi saat kebangun tengah malam di sini . Give, and you'll be happier. Check them out, you'll cry, I guarantee!

Asli ga pantes banget buat mengeluh. Ah, mari menampar wajah sendiri. 

Be tough, you're stronger.

(source: http://kurniawangunadi.tumblr.com/post/81182925864/tulisan-kehidupan-di-luar-dirimu)

Read More...

Sabtu, 05 April 2014

ini hanya fiksi (14)

Leave a Comment
Cermin

"Susah ya, Ri, demen sama sobat sendiri tapi ga bisa ngaku. Banyakan takut ditolaknya.
Ga enak banget gue kalo liat doi lagi suntuk dan ga semangat kaya' sekarang. Aslinya pengen gue cubit pipinya atau gue sumbangin energi buat bikin bola semangat, tapi takut doi tau gue punya perhatian berlebih trus doi malah menjauh dan temenan kita ga asik lagi. Yah, dan pada akhirnya gue cuma bisa ngirimin doa-doa aja buat doi. 

Semakin gue pikirin semakin gue ga paham dengan friendzone. Apa sih salahnya suka sama temen sendiri? Menurut gue, malah asli tuh, saling tau gimana dia sebenernya, saling tau sifat jelek masing-masing, bahkan udah tau apa yang harus dilakukan buat nenangin dia kalo chaosnya kumat. Iya ga? Gue tau banget kita punya mimpi dan semangat yang sama, maksud gue, kenapa kita ga bareng aja dari sekarang sampai nanti?

Gatau kenapa gue rasa kans gue buat doi terima itu kecil, Ri. Dia ga pernah cerita soal laki-laki lain atau idaman doi kaya' apa, tapi setiap gue liat matanya, gue udah kaya' bisa liat masa depan, Ri (hahaa.. sok tau ya gue) dan itu sepertinya bukan gue yang ada di sana. 

Kata orang perempuan itu perasa banget.. mungkin ga ya doi udah ngerasain tapi pura-pura ga tau?

Ri, menurut lu could perfect be a problem? Lu tau sendiri doi gimana. Cantik, pinter, lumayan berada, latar belakang keluarganya bagus, walaupun agak jutek sih, pemahaman agamanya yang sebenarnya bikin gue kagum berat. Dan itu yang bikin gue betah berjam-jam diskusi sama dia, yang gue harepin bisa terjadi long lasting sampe kita jadi kakek nenek ntar, sampe lu udah masuk kuburan duluan, eh sori. Tapi gue merasa ga mampu mengimbangi itu, Ri. I'm very ordinary. 

Jawab gue, Ri. Could perfect be a problem?

Posisi gue serba salah ya, Ri? Gue maju aja ga nih? Emmm.. gue rasa gue emang harus maju, Ri. Laki-laki macam apa yang merelakan saja perempuan yang dicintainya pergi tanpa usaha? Gue akan maju dulu, Ri.. apapun yang terjadi nanti :)
Doain gue ya, Ri."

Read More...

Jumat, 04 April 2014

Warisan: Nama Baik

Leave a Comment
Obrolan saya dan beberapa teman Jogja saya akhir pekan lalu ditambah renungan semalaman suntuk akhirnya berbuahkan tulisan ini. Waktu itu kami banyak berbicara tentang banyak hal, tapi satu hal, saya tertarik sekali dengan fokus kebanggaan salah seorang teman lama, anggap saja namanya W.

Kami berasal dari TK, SMP, dan SMA yang sama, sehingga hampir dipastikan saya cukup baik mengenalnya. Saya juga mengenal baik keluarganya. Yang paling mengejutkan saya setelah cukup lama tidak mengetahui kabarnya adalah keadaannya hari-hari ini. Akrab sekali sekali dengan hedon, begitu kesimpulan akhir saya. Memang, keadaan keluarganya cukup menjanjikan, sangat berkecukupan malah. Kali terakhir yang saya dengar, ayahnya sudah membelikan dia mobil keluaran terbaru untuk dipakai pulang-pergi kampus dan jalan-jalan. Bangga bukan main. Tentu tulisan ini tak akan pernah lahir jika segalanya wajar-wajar saja, tapi kebanggaannya membuat teman saya yang bercerita pun kesal saat mendengarnya. Apalagi saat oknum W sudah membicarakan hak warisnya yang berlimpah.

Bukan, saya bukan iri. Saya hanya tidak paham, bagaimana bisa seorang laki-laki, sehat dan normal, pada usianya yang menginjak 23 tahun berbangga dengan apa-apa pemberian orang tuanya. Pada umur sebanyak ini tentunya telah terbit kesadaran setidaknya untuk mencari pendapatan sendiri dan tidak lagi merepotkan orang tua, kalau lah bisa malah menyenangkan orang tua dengan hasil keringat kita sendiri. 
Pun, saya paham bahwa orangtua tidak ingin melihat anaknya menderita karena kekurangan uang, apalagi jika tinggal sendiri di tanah rantau. Tapi dengan memanjakannya? tentu saja tidak benar. 

Saya sendiri untuk kebutuhan sehari-hari memang masih disponsori oleh orangtua dan kakak saya, tapi saya bertekad tidak menggunakannya untuk bersenang-senang dan harus menghasilkan uang sendiri (karena mandiri secara ekonomi adalah salah satu muwashofats -10 ciri pribadi muslim-).

Keluarga saya memang tidak sekaya materi keluarga oknum W, tapi saya juga mempunyai kebanggaan tersendiri tentang apa nanti yang akan diwariskan oleh kedua orang tua saya, yaitu nama baik. Kehormatan semasa hidup tentang bagaimana orangtua saya dikenal oleh orang lain. Keduanya dikenal jujur dan gemar menolong orang lain, dan saya sungguh berharap sifat-sifat baik beliau menurun juga pada saya. Saya ingin sekali menjaga nama baik beliau sekarang dan nanti.

Anak adalah sebaik-baiknya aset orang tua dan saya ingin menjadi investasi yang sangat menguntungkan untuk kedua orang tua saya, baik di dunia maupun di akhirat.


Read More...

Rabu, 02 April 2014

ini hanya fiksi (13)

1 comment
Salah

Aku melihatnya tergopoh memakai sepatu di serambi mushalla, rambutnya masih basah dan lengan kemejanya masih tergulung. Matanya merah kurang tidur, semalam sepertinya ia tak tidur cukup. Ada gurat rasa bersalah dalam keringat di keningnya, yang cepat-cepat dihapus saat tau aku mendekati posisinya.

"Sudah mau pergi lagi?" basa-basi, aku menyapa.

"Iya, sudah ditunggu. Saya duluan ya."

Aku mengangguk kikuk dan cuma bisa menatap punggungnya yang berbalut kemeja khaki menjauh. Mungkin lebih baik jika tadi aku pura-pura tak melihatnya. Entahlah, sejujurnya aku benci situasi ini. Palsu. Aku tau dia juga begitu. Tak mungkin dia tak lelah harus selalu pura-pura bahagia setiap melihatku. Tapi tak ada yang mau mengutarakannya langsung di hadapan masing-masing. Kami sama-sama bersembunyi di balik benteng, lalu memakai topeng. 

Aku dulu merasa kuat sekali, bertahan karena aku yakin hati tetaplah hati, bisa berbolak-balik. Tapi kini sepertinya aku mulai kehabisan energi dan harapan.  Hati dan kepalanya lebih kuat dari yang kuduga. Cinta bukanlah cinta jika hanya dari satu sisi, jika hanya satu pihak yang berjuang, dan kini aku tahu kenapa ibu masih belum memberikan restu atas pernikahan kami yang tinggal 1 bulan. 

Apa dibatalkan saja? Aku diserang ragu.
Aku menggeleng, memperkuat segala perasaan bersalah yang datang menghakimi. Aku yang salah menariknya sejauh ini. Aku bodoh sekali mengira cinta hanyalah masalah waktu. Maaf, maafkan aku yang telah membawa fisikmu sejauh ini, tapi tidak hatimu. Rasamu sepertinya tertinggal beberapa langkah di belakang. Aku kali ini akan membiarkanmu kembali dan memungutnya disana. Kembalilah hanya jika kau sudah siap.


Read More...