Jumat, 28 Maret 2014

Mr. Sherlock Holmes

Leave a Comment
Lucky me, pertama kali kenal Sherlock Holmes dari bukunya yang "Penelusuran Benang Merah / A Study in Scarlet" saat kelas VI. Memang buku kasus pertamanya, dan dari situlah saya tahu awal perkenalannya dengan Dr. John Watson dan kemudian deduksi-deduksi awal (yang katanya) sederhana namun sangat mengesankan. Bisa membaca kepribadian dan apa saja yang baru dialami seseorang setelah sepersekian detik cuma dari sepatu atau topinya, misalnya. 
Dari buku itulah kemudian saya benar-benar jatuh cinta pada sosok detektif, meski sebelumnya saya sudah berlangganan komik Detective Conan yang baru kemudian saya tahu, nama Conan samaran dari Kudo itu diambil oleh Aoyama Gosho dari pengarang Sherlock Holmes ini, yaitu Sir Arthur Conan Doyle.

Pertemuan dengan 2 sosok detektif ini pernah membuat saya juga bercita-cita detektif. Tapi satu-satunya kasus yang berhasil saya pecahkan dan mendapat apresiasi dari orang-orang adalah kasus hilangnya permen karet seorang teman di tempat ngaji, dan saya menamainya Gummy Case. Sukses besar, dan diingat oleh teman-teman ngaji saya selama... 2 hari. 

Ok, lupakan.

Oh, God.. saya kagum banget sama Sherlock Holmes ini.. keakuratannya dalam menyimpulkan kasus dan sikapnya sehari-hari sungguh menawan. Saya juga suka suasana London kuno pada masa 1880an yang penuh martabat, kelihatan dari penuturan cara berpakaian dan suasana jalan. Dia tinggal bersama Dr. Watson di Baker Street 221B London, dan mempunyai mata-mata anak-anak jalanan Baker Street yang sering disebut Bakers Street Irregulars. Hanya sedikit kekurangannya mungkin, salah satunya dia adalah perokok berat dari tembakau paling berat juga. Dan yang paling parah, pada saat hari-harinya tak diwarnai kasus, dia menggunakan suntikan kokain agar otaknya tetap terjaga dan bekerja. Kontras sekali dengan Dr. Watson yang orang medis dan melek kesehatan. Holmes juga menyukai musik dan dia cukup mahir bermain biola. Olahraganya tinju, dan satu-satunya perempuan yang bisa menariknya pikirannya lepas dari kasus di dunia ini cuma Irene Adler

Namun, beberapa kejanggalan yang belum saya temui penjelasannya adalah, Holmes ini mengenal Irene Adler dari permintaan yang dibawa Raja Skandinavia (kasus Skandal dari Bohemia), dan diakhir kasus, Irene akhirnya menikah dengan pria lain dan kabur. Tapi di filmnya, Irene ini diceritakan sebagai perempuan lajang. Ada yang tau ceritanya ga??

Musuh paling besar dan jahat Holmes adalah Prof. James Moriarty, seorang ahli matematika dan juga napoleonnya kejahatan Eropa saat itu yang juga membunuh Irene Adler dengan racun (Sedih banget akhirnya Holmes ga bersama Adler.. dan hidup sendiri saat Dr. Watson sudah menikah). Nah, belum lama ini saya menonton film kedua Sherlock Holmes yang berjudul the Game of Shadows. Sama seperti film pertamanya, film ini masih mengangkat Robert Downey Jr sebagai Holmes dan Jude Law sebagai Dr. Watson. Sebenarnya dari nonton film pertamanya, Sherlock Holmes (2009) saya cukup kecewa karena dimainkan oleh Downey Jr. Alasannya sederhana sih, dari fisiknya ga cocok sama gambaran Doyle tentang Holmes, padahal Holmes seharusnya lebih jangkung daripada Dr. Watson, dan pula Downey terlalu ekspresif, Holmes dalam novel lebih dingin dan serius. Mungkin lebih apik dimainkan oleh Benedict Cumberbatch seperti dalam serial BBC, seenggaknya dia orang Inggris asli kan? 













Pada akhirnya, di buku Memoar Sherlock Holmes, bab Kasus Penutup, Sherlock Holmes diceritakan berkelahi dengan Prof Moriarty dan keduanya jatuh ke air terjun di Swiss. Dr. Watson menyatakan sahabatnya itu meninggal, tapi di film keduanya, Sherlock muncul lagi di kediaman Dr. Watson. 

Aaah..saya tak ingin buru-buru menarik kesimpulan. Seperti kata Holmes, "Never theorize before you have data. Invariably, you end up." Baik Holmes akhirnya meninggal di air terjun itu maupun masih hidup, saya sudah mengikhlaskannya #loh , maksudnya cukup disayangkan kalo cerita kasus Sherlock Holmes harus berakhir, tapi dia juga tak mungkin hidup selamanya kan? Bagi saya. dia tetap detektif paling cemerlang di seluruh dunia.

Read More...

Selasa, 25 Maret 2014

(apalah) arti sebuah nama

2 comments
Dulu, saat saya masih SD sekitar kelas 2-3 gitulah, saya termasuk anak yang sering sekali sakit. Sebagian besar disebabkan karena amandel yang meradang setelah dilewati es. Yah, sedari dulu banyak sekali jajanan yang kata ibu harus amandel saya hindari, tapi dasar bocah, suka makan ice cream dan manisan diam-diam, apalagi kalo dikasih tetangga sebelah rumah. Begitu seringnya sakit hingga saya punya 2 mbah-mbah pijat dan 1 dokter langganan. 

Tukang pijat pertama saya adalah seorang mbah-mbah dari Manado yang punya panti asuhan, kami semua memanggilnya oma Manado. Seingat saya, beliau sudah meninggal saat awal kuliah saya dulu. Tukang pijat kedua adalah mbah-mbah jawa tulen, saya tidak begitu ingat beliau, tapi yang pasti saya ingat adalah mbah-mbah ini yang mengusulkan kepada ibu agar saya berganti nama. Sedangkan, dokter langganan saya itu adalah Pak Shaleh, seorang pensiunan dokter rumah sakit Angkatan Laut yang kemudian buka praktek sendiri di rumahnya. Setiap saya kesana, pasti dikasih obat-obatan yang diracik dan digerus halus -puyer- yang pahit sekali, tapi manjur. 

Nah, kembali ke tukang pijat kedua saya. Tukang pijat yang saya lupa namanya itu memang pernah mengusulkan kepada ibu agar nama saya diganti saja. Menurut beliau, mungkin saya sering sakit karena keberatan nama. Saya, yang saat itu masih kelas 2 SD, tentu saja tidak paham apa maksudnya 'keberatan nama', tapi saya cukup girang, bahkan saat itu saya sudah memilih nama yang akan saya pakai. Resti.
Yap, Resti adalah nama pertama yang terlintas di kepala bocah kelas 2 SD ini saat mendengar usulan mbah-mbah itu. Tidak ada alasan khusus tentang nama itu. Hanya saja, waktu saya TK, saya mempunyai teman baik yang bernama Resti, yang kemudian pindah ke Bojonegoro mengikuti ayahnya.

Tapi rupanya setelah ibu perbincangkan masalah ganti nama itu dengan bapak, urung dilakukan. Bapak merasa nama saya, Nursih, itu bagus. Sehingga akhirnya dari keputusan tentang nama saya itu adalah nama saya tetap, Nursih Dwi Hastuti, hanya saja nama panggilan saya yang berubah bukan lagi Nursih, tapi Hastuti. 
(dadaaah Resti, geli rasanya sekarang membayangkan ada yang memanggil 'Resti' dan saya menoleh)
Hastuti menjadi semacam nama kecil, karena yang biasa memanggil saya Hastuti selain keluarga saya adalah teman-teman semasa SD atau yang sekomplek dengan tempat tinggal saya kala itu. Hingga kini masih ada orang-orang nonfamily yang memanggil saya Hastuti, tetapi semakin sedikit. Karena saat saya SMP seorang teman memberikan nama Uchi yang kemudian lebih dikenal teman-teman seangkatan daripada Nursih --"
Nama ini bertahan cukup lama dan cukup pula merepotkan sampai saya lulus SMA.

Saat saya mulai kuliah di tempat yang tak seorang pun mengenal saya, saya kembali memperkenalkan diri saya sebagai Nursih. Saya lega, semua memanggil saya dengan Nursih. Apalagi saat tugas salah satu matakuliah yang mencari arti dari nama masing-masing dan harapan orangtua dibaliknya. Saya senang, karena arti nama saya bagus dan juga ada harapan orangtua saya di dalamnya. Nama saya juga dekat dengan nama kakak saya, dan saya bangga sekali dengan nama saya itu. 
Hi, I'm Nursih, and you?

Read More...

Jumat, 21 Maret 2014

Tinggal Dimana Nanti?

Leave a Comment
Belum saya jalani, tapi seringkali kepikiran: akan tinggal dimana saya setelah lulus nanti?
Orangtua pun telah sekali-dua kali menanyakan pertanyaan yang sama.

Saya belum menjawab, karena saya memang belum memutuskan.
Tapi saya berharap, semoga tidak di kota yang terlampau besar dan ramai. Malang cukup nyaman ditinggali, menyimpan sejuta kenangan yang cukup manis dan getir untuk tetap dikenang dalam lemari memori, tapi kadang harus menerus memacu hari hingga terasa lewat begitu saja. Melelahkan. 
Saya pendatang, tapi saya punya banyak teman dan kenalan yang baik di sini, tapi tentu saja tidak mungkin selamanya saya akan mengandalkan mereka. Malang telah cukup padat hari-hari ini, tidak seperti Malang beberapa tahun yang lalu yang masih sejuk dan banyak lahan terbuka hijau sepanjang jalan, bukan jejeran ruko-ruko yang bikin sumpek.

Teringat obrolan dengan seorang Manajer Edukasi Telkom saat menemani beliau bertemu para kepala sekolah di Batu, "Tinggal di Malang ga cukup cuma pintar, harus struggle dan kadang harus tega. Kalo cuma pintar, banyak orang yang pintar juga."

Benar, Malang sudah cukup keberadaan orang-orang yang pintar dan kreatif, mungkin saya harus ke kota lain, agar merata lah kemakmuran di negara kita ini. Di kota ini akan sulit sepertinya mempunyai rumah tinggal yang sederhana tapi berhalaman rumput luas untuk tempat anak-anak saya bermain. 

rumah Carl & Elli (dari sini)

Saya tak ingin selamanya dikejar-kejar waktu dan buru-buru memacu kendaraan tiap pagi. Terjebak dalam lautan kendaraan dan dipaksa mendengar puluhan klakson ditekan dalam semenit. Menuakan di jalan. Saya tidak suka.

Tinggal di luar negeri seperti kota kecil di selatan Jepang atau utara Inggris cukup menggoda, saat telah bersuami tentu saja.. tapi mungkin tidak untuk dalam jangka waktu yang sangat sangat lama. 

Mungkin saya akan memilih sub urban saja, tidak terlalu ramai dan tidak pula terlalu sepi. Lalu mungkin saya bisa bekerja di rumah, atau bisa pula menjadi guru di sekolah yang benar-benar membutuhkan saya, atau menjadi guru TPA di sore hari juga, mungkin.

Lalu,  kau akan tinggal dimana?


Read More...

Selasa, 18 Maret 2014

m.e.n.t.o.r.

2 comments

nahnu du'at qobla kulli syai'

(kita adalah dai -penyeru- sebelum menjadi apapun)

Menjadi seorang penyeru itu wajib, bagi siapapun. Tak pandang bulu pekerjaan dan konsentrasi keilmuannya. Setiap orang yang mencari ilmu dan mempunyai ilmu wajib menyebarluaskan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Tapi kali ini saya ingin mengerucutkan sudut pandang seorang dai ini menjadi mentor sahaja lah. 

Saya adalah seorang mentor di sebuah SMK Negeri sekaligus koordinator mentor di sebuah lembaga amal zakat. Menjadi seorang mentor dalam bayangan orang lain mungkin harus serba wah, harus imannya tebel dan terus terjaga, terus menjaga hati, dan bersih dari dosa #aduhmak saya belum seperti ituuuu...
Kapan merasa pantas menasihatinya kalo harus nunggu sempurna imannya? Sedang iman itu  terus-terusan yaziidu wa yanquus, naik dan turun. Menasehati orang lain sekaligus menasehati diri sendiri, mengajak orang lain berbuat baik membuat kita sungkan sendiri jika kita malah belum berbuat baik. Bukannya begitu?

Menjaga hati, itu kebanyakan alasan teman-teman saya untuk agak acuh terhadap perkembangan trend dan teknologi. Ga pengen tau dan ikut-ikutan. Wah.. hal ini mungkin yang kemudian membuat saya dipandang berbeda dan menimbulkan sedikit kericuhan di grup diskusi para mentor beberapa saat yang lalu. Gaul banget sih, itu kata mereka. Cuma gara-gara saya tau tagline "real men use three pedals" (apaan.. real men buy his car with his own money lah), suka nonton sepakbola dan dengerin Coldplay. 
Haduuuuuh,  menurut saya pribadi sih mentor itu justru harus gaul, harus update terus, harus paham apa yang menjadi trend di kalangan remaja sekarang. Sorry to say, but jangan sampai mentor itu dibilang kuno, ketinggalan info, dan malah ditinggalin adik-adik karena ga terbuka.
Jangan sampai saat adik-adik mentee kita nanya apa itu cabe-cabean, kita malah bengong dan ngelantur, "cabe? cabe yang bikin sambel?"

Hellooooow... how can we protect our sisters and brothers from something we didn't know?

Dan lagi ya, hidup kita itu udah akur berdampingan dengan yang namanya teknologi. Ada facebook, ada twitter, ada tumblr, etc yang dari dalamnya itu kita bisa dapat info-info baru cuman bermodalkan akses internet dan jempol buat scrolling. Gimana kita bisa ga tau? Apa emang kita yang ga mau tau?


Nah, kalo soal menjaga hati itu sih pinter-pinternya kita aja mawas diri. Cukup tau, ga usah di selami sampai dalam. Udah pada tau mana yang bener dan mana yang harus dibenerin juga. Itu aja sih.

Prinsipnya: Membaur tapi tak melebur, gaul tapi tetap menjaga hijab.


Read More...

Rabu, 12 Maret 2014

game online kills you

Leave a Comment
Kemarin sore akhirnya secara nyata saya melihat dan mendengar langsung efek (teramat) buruk dari keranjingan games online. Serius, ini seram sekali. 

Ada seorang anak remaja tanggung laki-laki yang saya kenal. Umurnya sekitar 17 tahun beberapa bulan yang lalu. Beberapa kali melihat interaksinya dengan ibu dan adik-adik perempuannya, saya berkesimpulan bahwa ia adalah anak yang berkecenderungan jadi family man, penyayang keluarga ringkasnya. Saya mengenalnya sebagai anak yang sopan sekali, dia juga sedikit pemalu dalam berhadapan dengan lawan jenis, termasuk dengan saya. 

Salah satu dari sedikit kebiasaannya yang saya ketahui adalah dia tidak pernah absen untuk main games online di kamarnya sejak sepulang sekolah. Sejak sore hingga malam. Tak jarang dia juga ketahuan melewatkan shalat magrib karena keasikan ngegames. Apalagi setelah dirumahnya itu dipasangi wifi, semakin asiklah dia bermain tanpa kontrol. Hingga kemarin sore, saya kaget sekali mendengarnya, dia memaki dengan kata-kata paling kasar di Tanah Jawa dari dalam kamarnya cuma gara-gara kecepatan internetnya berkurang. Dia juga membentak adik-adiknya, dengan suara yang sangat kasar dan keras. Tidak cuma sekali, tetapi berkali-kali dalam 10 menit.

Beberapa saat, saya cuma bisa tercengang, kaget. Pupuslah sudah bayangan saya tentang anak itu yang sopan dan lemah-lembut terhadap perempuan. Dan masih dalam kekagetan saya itu, saya semakin kaget dengan tidak adanya respon dari orang tuanya. Ditegur atau diingatkan? Tidak ada. Didiamkan saja. 

Wuuut? Lagi ada dimana saya ini?? Keluarga? 

Ga habis pikir saya saat masih disana. 
It's happened. Pengaruh dari game online saya memastikan dugaan diri sendiri. Saya emang ga tau banyak tentang game online, tapi sedikit banyak saya tau dampaknya. Dan melihat hal itu harusnya saya tidak kaget. Tapi, tetap saja saya kaget. Betapa cepat perubahan dan efeknya terhadap mental seseorang gitu ya. Belum lagi efek terhadap paparan pornografi yang banyak banget terkandung dalam games online tersebut. Dan tanpa dibarengi kontrol dan pengawasan oleh orangtua yang seharusnya berperan sebagai orang bijaksana terdekat.
Gila lah ini...

(untuk info lebih lengkap tentang perusakan otak dari efek pornografi, silahkan baca disini)

Sanggup ga ya saya ntar ngebesarin anak ditengah gempuran perusakan mental dan akhlak kaya' gini? 


Read More...

Selasa, 11 Maret 2014

ujian

1 comment
Kepikiran, iseng aja buat catatan ini. 
Bisa dibaca suatu hari nanti, sebagai penanda masa-masa ini pernah ada dan terjadi. Mungkin diketik sambil mewek, tapi kelak akan dibaca sambil tersenyum.

Bagaimana rasanya? 
Lega sekali ya?

Dua pertanyaan yang ingin sekali ditanyakan pada mereka tapi terlalu takut membayangkan jawabannya. 
Dan aku, yang memutuskan tidak akan bertanya malah selalu ditanyai, -kapan nyusul?-

Ah, kalau saja pertanyaan kalian membantu, sayangnya tidak.
Yang ada ini hanya akan menambah panjang dalam daftar pertanyaan.
Kali ini aku bicara pada diriku sendiri, Gezz.. kenapa dengan 'hal ini'? Tidak adakah sesuatu yang lebih menantang lainnya yang bisa menawan rasa percaya diriku? 

Dan pada suatu waktu yang lalu, aku bicara dengan seorang sarjana bimbingan dan konseling, dan it's like a investigation session, karena aku yang terus ditanyai dan bukan aku yang bertanya.
Pada akhirnya aku tetap menolak bercerita banyak, seperlunya saja aku kira cukup. 
Lalu mengalir lah sebuah pernyataan yang menurutku cukup menghibur hati: "iya, ya.. setiap orang kan ada ujiannya masing-masing. Ada yang diuji dengan orangtuanya seperti ukh X yang masih dilarang berjilbab oleh ayahnya itu, ada yang diuji dengan lingkungan kerjanya hingga akhirnya harus keluar, ada pula yang diuji dengan uangnya.
Mungkin emang ujian Nursih sekarang itu disini, dengan hal ini. Hadapi dengan sabar dan syukur aja, insha Allah kamu bisa melaluinya."

aaarggh... aku benar-benar berdoa, semoga aku akhirnya bisa mengingat masa-masa ini nantinya, setelah semuanya selesai dan aku kembali dihadapkan dengan ujian yang lain, yang baru, yang akan menaikkan level di hadapanNya.



Read More...

Selasa, 04 Maret 2014

menghargai waktu

Leave a Comment
Bagaimana mungkin masih ada orang-orang yang tega membuat orang lain menunggu?
Saya ga paham. Apalagi jika disebabkan hal-hal maha remeh dan ga penting, "sibuk" nonton Dahsy*t misalnya, sehingga baru datang jam 9.09 padahal janji bertemu jam 08.00.

Sayangnya kesadaran orang-orang tentang betapa berharganya waktu dirinya sendiri dan milik orang lain masih minim sekali. Padahal penting banget buat menghargai waktu. Karena menghargai orang berarti menghargai waktunya. Kalo kita sudah menyanggupi dan berkesepakatan untuk bertemu pada jam sekian sampai sekian, berarti kita sudah meminta dan mengambil sebagian hidupnya. Dan itu bakalan ga bisa diganti dengan apapun jika kita datang terlambat dan membuatnya membuang (bahkan hanya) 5 menit kehidupannya. Diganti dengan waktu dari kehidupan kita juga ga bisa. 

Di zaman serba gampang dan instan ini pun kita dengan mudahnya mengandalkan bilang "ga bisa, sibuk" atau "ga sempat", padahal fasilitas banjir dimana-mana. Ada ratusan alat transportasi lewat di jalan per menit, kita juga punya jam sebagai penanda waktu yang bisa dibawa kemana-mana. Kenapa masih datang terlambat?
Mungkin benar, kita, orang Indonesia terlalu toleran terhadap keterlambatan. Kalo ada yang udah telat 15 menit, kemungkinan besar bakal ada sosok manusia 'berjiwa besar' yang bakal bilang, "kita tunggu lagi 15 menit yah.. baru kita mulai/berangkat"
Ini yang membuat saya yakin sekali orang-orang yang terlambat merasa dirinya penting dan ga masalah kalo terlambat. Kalo saya yang jadi pengambil keputusan, dan ada yang telat tanpa alasan penting dan syar'i, saya tinggal aja. Bodo amat. Sekali-kali ngasi efek jera itu perlu lho. Nyebelin banget asli nemuin orang yang telat, alasannya ga jelas, trus minta maap sambil cengar-cengir dan tanpa perasaan bersalah.

Yuk hargai waktu, waktu kita dengan diri sendiri, waktu bersosialisasi dengan orang lain, apalagi waktu kita beribadah kepada Allah. Islam juga ngajarin supaya kita disiplin kan? :)


Read More...