Senin, 15 Juni 2015

Ketika Kemanusiaan Diuji

Leave a Comment
Beberapa hari ini kita dan hampir semua media ramai membicarakan Angeline, si cilik manis yang terakhir ditemukan tewas dibunuh dengan kondisi mengenaskan di halaman belakang rumah orangtua angkatnya. Sebelumnya Angeline dilaporkan hilang oleh ibu angkatnya sendiri. Baru saja di salah satu grup whatsapp, seorang teman bercanda, "Mungkin besok-besok kalau ada laporan anak hilang, bakal ada yang nanggepin, 'udah dicari di halaman rumah orangtuanya?'". 

Ga masuk akal memang, tapi kita sudah disodori sebuah fakta seperti itu.

Dan ini ngingetin saya soal gimana kita menyikapi beberapa kejadian, dulu dan sekarang. Dulu, ga sampai hitungan 10 tahun yang lalu, muncul fenomena ibu-ibu yang meminta-minta sambil menggendong anaknya yg masih bayi atau balita. Banyak dari kita yang jatuh iba, hingga sering memberikan uang jika bertemu ibu-ibu ini. Lambat laun, semakin banyak muncul ibu-ibu lain yang juga membawa anak saat sedang 'bekerja'. Dan belakangan kita tau, bahwa ternyata ada sindikat dibalik para ibu-ibu ini, bahkan bayi yg dibawa pun bukan anaknya sendiri melainkan dari persewaan (bahkan dari milis yg saya terima ada yg menerangkan bahwa bayi tersebut dicekoki minuman keras atau obat-obatan agar tetap tidur dan tidak rewel seharian). Setelah tau kejadian tersebut, teman-teman saya mengiyakan bahwa mereka tidak lagi memberi uang pada ibu-ibu itu.

Kejadian sebelumnya, yang lebih lawas, dulu ada bapak-bapak atau ibu-ibu yang mendatangi kita, mengaku tidak punya ongkos untuk perjalanan pulang. Lalu meminta diberikan ongkos seikhlasnya. Namun belakangan juga kita tau bahwa itu salah satu modus penipuan.

Sekarang setelah tau, kalo didatangi orang-orang seperti itu, meh.. mungkin ada yg langsung ditinggalin kali ya.

Pertanyaannya: apakah kita telah kehilangan rasa kemanusiaan kita? 

Tergantung juga sih.. hanya saja ada oknum-oknum yang menguji kadar simpati kita hingga akhirnya simpati itu hilang blas karena dirasa tidak sesuai tempatnya.
Manusia adalah makhluk cerdas. Kita bisa belajar dan menarik kesimpulan. Kalo seseorang pernah ditipu ato dirugikan, otomatis dia akan belajar untuk menghindari situasi yang sama di masa depan. 

Hati-hati dengan manusia.


Read More...

Senin, 08 Juni 2015

What Can We Do Together Now?

Leave a Comment


Rumah, 7 Juni 2015

Makin kesini, hidup bukan lagi sebagai mahasiswa, hidup kerasa makin realistis dan keras ya. Nah, jadi ceritanya sekarang saya mau nulis apa yang bisa sedikit saya simpulkan hidup di usia rawan-galau-karena-belum-nikah ini #lah ujung-ujungnya.

Berdasarkan hasil pengamatan #uhuk, kunjungan, dan diskusi saya ke rumah beberapa kawan yang sudah beberapa tahun menikah saya mendapatkan beberapa hal penting yang patut untuk dipikirkan, dilaksanakan dan diselesaikan saat memutuskan untuk menikah muda. 

Yang pertama, kesiapan financial. Dulu, tapi ga dulu-dulu banget saat saya masih jadi mahasiswa, saya pikir masalah financial ini cukup dipusingkan oleh pihak lelaki sajalah, karena mereka adalah pihak yang seharusnya menafkahi. Iya sih, but look around you, banyak banget lho, pasangan muda yang tiap hari bertengkar karena masalah duit, ujung-ujungnya banyak juga yang cerai. Mungkin kamu belum tau karena mereka bukan selebritis dan ribut-ributnya ga muncul di teve. Jadi saya pikir yah, perempuan boleh kok bekerja. Kebutuhan perempuan kan selalu lebih banyak daripada laki-laki, apalagi kalo dengan penghasilannya sendiri dia bisa membantu suami menambah kas keluarga. Bagian sulitnyanya adalah, mencari pekerjaan yang bisa tetap menomorsatukan keluarga. Yah, mungkin bisa usaha sendiri, atau kerjanya dari rumah. Nah.. saya juga masih bingung soal ini. Tapi, gimana kalo suaminya ga ngijinin istrinya bekerja? suami kan pemimpin keluarga, harus diikuti. 

Yang kedua, kesiapan mental. Manusia pada usia muda, yang sebelumnya terbiasa tinggal nyaman dan bahagia dengan orangtua begitu masuk ke peran rumah tangga yang banyak banget tanggungjawabnya suka kaget sih. Dampaknya, bisa banget liat cara ngasuh anaknya. Suka kasian kalo ada anak-anak usia batita atau balita yang ibunya ngasih makanan yang banyak banget garam bahkan penyedap rasanya, atau orangtua yang dikit-dikit ngebentak anaknya, ngatain –maap- bodoh dll, atau orangtua yang ga ngajarin sopan santun, kejujuran, buang sampah dengan benar, dsb.

Setelah dibaca ulang 2 paragraf di atas, kaya’nya saya sok banget ya nulis gitu.. padahal sendirinya masih single. Pokonya banyak lah yang harus disiapkan kalo mau nikah.. misalkan masih susah bangun pagi, masih suka nunda shalat, belum bisa bedain lada dengan ketumbar, ga bisa nahan diri kalo liat barang bagus di mall.. Apalagi kalo masih suka ngambek, dikit-dikit perlu me time. Hal-hal kaya’ gini kan harus dibereskan dulu dengan diri kita sendiri. 

Saya pribadi pengen banget ketika si Mr. Right datang nanti, siapapun itu, saya sudah menyelesaikan semua targetan-targetan dan masalah saya pribadi, jadi saya ga akan melemparkan kebingungan saya kepada dia dan begitu juga sebaliknya. Walaupun targetan ato goal hidup itu akan selalu diupdate dan direvisi setiap waktunya. Misalkan, goal saya 3 tahun yang lalu: bisa masak sayur bening, laporan praktikum saya sudah beres saat weekend. Goal saya tahun lalu,: bisa bake roti yang ga bantet, segera wisuda, lebih baik dalam managemen waktu. Lalu goal saya sekarang: punya penghasilan sendiri, bisa hapal juz sekian, kooperatif dan helpfull, dst. Saya ingin kami bertemu dalam pribadi yang kuat dan focus, sebagai mitra tim yang baru, jadi kami bisa saling mengatakan, “I’m done with my self… what can we do together now?”

Pelajaran moralnya: Ga usah terlalu ngomporin nikah muda. Titik kritisnya bukan pada usia berapa saya akan menikah, tapi apa saja yang sudah saya siapkan untuk menikah. Apalagi kalo terpaksa menikah gara-gara kasus hamil pra nikah. Ga usah macem-macem makanya!


Read More...