Dulu, saat saya masih SD sekitar kelas 2-3 gitulah, saya termasuk anak yang sering sekali sakit. Sebagian besar disebabkan karena amandel yang meradang setelah dilewati es. Yah, sedari dulu banyak sekali jajanan yang kata ibu harus amandel saya hindari, tapi dasar bocah, suka makan ice cream dan manisan diam-diam, apalagi kalo dikasih tetangga sebelah rumah. Begitu seringnya sakit hingga saya punya 2 mbah-mbah pijat dan 1 dokter langganan.
Tukang pijat pertama saya adalah seorang mbah-mbah dari Manado yang punya panti asuhan, kami semua memanggilnya oma Manado. Seingat saya, beliau sudah meninggal saat awal kuliah saya dulu. Tukang pijat kedua adalah mbah-mbah jawa tulen, saya tidak begitu ingat beliau, tapi yang pasti saya ingat adalah mbah-mbah ini yang mengusulkan kepada ibu agar saya berganti nama. Sedangkan, dokter langganan saya itu adalah Pak Shaleh, seorang pensiunan dokter rumah sakit Angkatan Laut yang kemudian buka praktek sendiri di rumahnya. Setiap saya kesana, pasti dikasih obat-obatan yang diracik dan digerus halus -puyer- yang pahit sekali, tapi manjur.
Nah, kembali ke tukang pijat kedua saya. Tukang pijat yang saya lupa namanya itu memang pernah mengusulkan kepada ibu agar nama saya diganti saja. Menurut beliau, mungkin saya sering sakit karena keberatan nama. Saya, yang saat itu masih kelas 2 SD, tentu saja tidak paham apa maksudnya 'keberatan nama', tapi saya cukup girang, bahkan saat itu saya sudah memilih nama yang akan saya pakai. Resti.
Yap, Resti adalah nama pertama yang terlintas di kepala bocah kelas 2 SD ini saat mendengar usulan mbah-mbah itu. Tidak ada alasan khusus tentang nama itu. Hanya saja, waktu saya TK, saya mempunyai teman baik yang bernama Resti, yang kemudian pindah ke Bojonegoro mengikuti ayahnya.
Tapi rupanya setelah ibu perbincangkan masalah ganti nama itu dengan bapak, urung dilakukan. Bapak merasa nama saya, Nursih, itu bagus. Sehingga akhirnya dari keputusan tentang nama saya itu adalah nama saya tetap, Nursih Dwi Hastuti, hanya saja nama panggilan saya yang berubah bukan lagi Nursih, tapi Hastuti.
(dadaaah Resti, geli rasanya sekarang membayangkan ada yang memanggil 'Resti' dan saya menoleh)
Hastuti menjadi semacam nama kecil, karena yang biasa memanggil saya Hastuti selain keluarga saya adalah teman-teman semasa SD atau yang sekomplek dengan tempat tinggal saya kala itu. Hingga kini masih ada orang-orang nonfamily yang memanggil saya Hastuti, tetapi semakin sedikit. Karena saat saya SMP seorang teman memberikan nama Uchi yang kemudian lebih dikenal teman-teman seangkatan daripada Nursih --"
Nama ini bertahan cukup lama dan cukup pula merepotkan sampai saya lulus SMA.
Saat saya mulai kuliah di tempat yang tak seorang pun mengenal saya, saya kembali memperkenalkan diri saya sebagai Nursih. Saya lega, semua memanggil saya dengan Nursih. Apalagi saat tugas salah satu matakuliah yang mencari arti dari nama masing-masing dan harapan orangtua dibaliknya. Saya senang, karena arti nama saya bagus dan juga ada harapan orangtua saya di dalamnya. Nama saya juga dekat dengan nama kakak saya, dan saya bangga sekali dengan nama saya itu.
Hi, I'm Nursih, and you?
Uchi.... saya yahya
BalasHapusUchi.... saya yahya
BalasHapus