Jumat, 13 September 2013

Tere Liye

Leave a Comment
Kalian tau Tere Liye? itu lho penulis novel bestseller asli Palembang, Indonesia...
Yang nulis Serial Anak-Anak Emak, Bidadari-Bidadari Surga, Moga Bunda Disayang Allah, sampai yang terbaru Negeri di Ujung Tanduk? 

Saya salah satu fans setia tulisan dan kalimat bang Tere. Sejak membaca Serial Anak-Anak Emak, Burlian tahun 2010, saya sudah jatuh cinta dengan bagaimana kelihaian bang Tere menggubah huruf dan karakter menjadi karya. 


Sebuah alasan kenapa saya selalu menunggu tulisan bang Tere adalah karena selalu ada pesan yang tersurat setiap bang Tere menulis. Pesan religi, moral, akhlak, dan sebagainya. Segala pesan yang baik dan membaikkan. Jangan galau, jangan pacaran, jangan merokok, jangan abai terhadap orangtua, belajar yang rajin, and more.
Di novel-novelnya pun tak ada ceritanya si Fulan berpacaran dengan Fulanah, yang ada hanya si A mencintai si B, karena cinta itu kan emang fitrah, dan pasti dirasakan oleh setiap manusia. Tinggal bagaimana kita menyikapi perasaan tersebut, menghinakan atau memuliakan.
Pokoknya saya percaya bang Tere sudah mempunyai pemahaman yang baik terhadap hidup. Dan selidik punya selidik, bang Tere pernah mengaku pemahaman itu didapatnya karena belajar dari berbagai perjalanan menyusuri berbagai negara di Asia secara backpack beberapa belas tahun yang lalu. Nah, traveller pula inih!

Pun, saya pernah 2 kali mengikuti pelatihan menulis dan talkshow bersama bang Tere Liye. Sebelumnya jika membayangkan dari gaya menulis dan penyampaiannya, saya berprasangka bang Tere ini orangnya rapi, berkemeja, bersepatu pantovel, dan rapi menyisir rambutnya, tapi begitu melihat bang Tere langsung, aaah... hilang sudah semua bayangan tadi.
Bang Tere bener-bener lowprofile, zuhud lah kalo saya boleh bilang. Berkaos, celana panjang jeans, kupluk abu-abu di kepala, dan bersendal jepit swallow.

Salah satu penjabaran yang saya sukai tentang aturan dalam talkshow atau seminar kepenulisan beliau adalah tidak bakal ada sesi foto bareng peserta, alasannya? Baca ini yah..
Akan saya jelaskan beberapa kesalah-pahaman:

1. Tanda tangan
Dalam setiap acara, saya selalu mewajibkan jika ingin request tanda-tangan harus di buku2 tere liye. Saya tahu, ada di antara orang-orang yg tidak menerima peraturan ini, bilang hanya orang punya uanglah yang bisa beli buku-buku tersebut, saya diskriminatif, lantas menilai macam-macam, bahkan menulis di jejaring sosial penuh prasangka.

Padahal alasannya simpel sekali: saya pernah datang ke sebuah sekolah, bayangkan saat semua murid bisa minta tanda tangan di kertas apapun, maka satu orang bisa membawa 10 lembar kertas minta tanda tangan untuk temannya A, kakaknya B, tetangganya C, dan sebagainya sampai J. Satu orang bisa begitu, maka peserta yang lain maksa begitu pula. Saya jadinya bisa menandatangani 1.000 lebih request tandatangan di buku tulis, kertas HVS, kertas robekan, dan sebagainya  Jika 1 tanda tangan itu membutuhkan 10 detik, maka saya butuh 10.000 detik, hitung saja sendiri berapa jam yang harus saya habiskan untuk menandatangani kertas-kertas tersebut. Lebih lama tanda tangannya dibandingkan sesi materinya. Peraturan itu bertujuan mengurangi dengan sangat signifikan request tandatangan.

Padahal apa sih artinya tanda tangan? Akan membawa kemuliaan? Menambah derajat? Pengetahuan? Tidak sama sekali. Kalau kalian tidak punya buku, dan tetap maksa minta tanda tangan  mudah. Temui saya di detik terakhir sebelum saya meninggalkan lokasi acara, saya bisa membuat pengecualian yang tidak mengundang protes peserta lain.

2. Foto bareng
Apakah saya itu tidak mau di foto bareng? Mau. Saya ini narsis sekali. Itu natur. Tapi saat saya tidak bersedia di foto bareng peserta dalam acara, lagi-lagi bukan karena saya sombong, tidak adil, sok, dan sebagainya.
Alasannya simpel: ikhtilat
Bayangkan ketika orang-orang merangsek ingin foto bareng, maka batas, jarak, bahkan prinsip yang baik bisa dikesampingkan demi foto bareng tersebut. Berebut. Dorong-dorongan. Jikapun tidak berebut, ketika foto, kita tetap saja berdekatan satu sama lain, nempel. Dan ini kadang tidak ada habis-habisnya. Satu orang bisa minta tiga kali pose, dengan gaya berbeda.
Padahal, lagi-lagi, buat apa sih foto bareng tere liye? Mending kalian foto bareng teman-teman baik, atau teman-teman peserta, biar saya yang motoin, pegang kameranya sini. Kan seru cerita ke teman, eh tadi saya ketemu bang tere di acara, dia motoin kami loh.

3. Request Interview
Di buku-buku saya tidak ada biodata, CV penulisnya. Pun menggunakan nama pena saja. Ada alasan baik kenapa saya melakukan hal tersebut. Alasan yang sama baiknya ketika penulis lain sebaliknya meletakkan biodata, dll. Profile saya pun tidak muncul di media massa. Terlepas dari memang tidak ada media massa yang mau pula meliput, wawancara, dan sebagainya,  saya melakukan hal ini karena alasan yang lagi-lagi baik. Seharusnya kalian bisa memahaminya bahkan tanpa perlu tahu alasannya. Karena jelas, semua orang punya batas privacy, alasan personal. Tidak perlu memaksakan diri, tidak perlu bilang saya sombong, pedit, kikir, bakhil.
Jadi ketika saya menolak request interview, wawancara, untuk keperluan apapun, tidak ada hubungannya dengan diskriminatif, keadilan sosial, kesejahteraan dunia, apalagi apresiasi dan kemakmuran ekonomi umat. Itu simply saya sedang terus berdisiplin menggigit pemahaman saya.
Kurang lebih begitu penjelasannya.
Keren sumpah!



0 komentar:

Posting Komentar