al-Umm madrosatul ulaa
Ibu adalah sekolah pertama.
Karena itu seorang perempuan harus cerdas, harus banyak membaca, harus berwawasan luas, dan tentu saja memiliki pemahaman yang baik. Apapun profesinya. Entah wanita karier atau ibu rumah tangga.
Sejak zaman dahulu, entah mengapa sudah tertanam dalam pemikiran bahwa seorang perempuan harus cakap dalam urusan rumah tangga, mulai masak, membereskan rumah, sampai mengatur manajemen keluarga. Mungkin karena budaya timur yang kita anut.
Anggap saja saya kenal seorang ibu rumah tangga, seorang ibu yang 85% waktunya berada di rumah, aneh saja melihat rumahnya tak tertata rapi. Buku-buku pelajaran anaknya berserakan di sana-sini, tas dan sepatu seenaknya menjajah ruang tamu.
Sedih rasanya jika melihat seorang ibu yang seharusnya mendidik budi pekerti sang anak malah asyik menyimak drama Korea di teve sore-sore, sementara si anak duduk bersama orang lain yang bukan siapa-siapa, mengajarkan doa hendak belajar sampai memimpin shalat berjamaah.
Dari ibu-ibu itu kemudian saya bercermin. Ada bayangan yang terpantul, tapi tidak seperti bayangan maya, diperbesar, dan terbalik yang dihasilkan lensa cembung... saya melihat dan mulai menandai apa yang harus saya lakukan jika saya menjadi seorang istri dan ibu nanti.
Sempurna-nya seorang perempuan bukan karena dia telah menjadi ibu. Saya rasa itu masalah kesempatan. Bagaimana dengan perempuan-perempuan lain yang belum atau tidak berkesempatan? Yang belum menikah, yang tidak kunjung hamil, yang karena suatu penyakit lalu diangkat rahimnya dan melayanglah kesempatan menjadi ibu?
Maaf, kalau kalian tidak setuju, tapi menurut saya, perempuan akan sempurna jika dia sadar kodratnya dan bisa melaksanakan sebaik-baik tugasnya sebagai perempuan.
Dari ibu-ibu itu kemudian saya bercermin. Ada bayangan yang terpantul, tapi tidak seperti bayangan maya, diperbesar, dan terbalik yang dihasilkan lensa cembung... saya melihat dan mulai menandai apa yang harus saya lakukan jika saya menjadi seorang istri dan ibu nanti.
Sempurna-nya seorang perempuan bukan karena dia telah menjadi ibu. Saya rasa itu masalah kesempatan. Bagaimana dengan perempuan-perempuan lain yang belum atau tidak berkesempatan? Yang belum menikah, yang tidak kunjung hamil, yang karena suatu penyakit lalu diangkat rahimnya dan melayanglah kesempatan menjadi ibu?
Maaf, kalau kalian tidak setuju, tapi menurut saya, perempuan akan sempurna jika dia sadar kodratnya dan bisa melaksanakan sebaik-baik tugasnya sebagai perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar