Kado
Aku ingat betul hari itu. Waktu itu sebuah hari di bulan Juni. Sore itu sedang hujan, aku duduk memandang ke luar jendela kamar, menghitung tetes-tetes hujan yang menetes di kaca. Lalu segalanya menjadi terang, kelewat terang, silau tepatnya. Ah, sebuah kilat yang besar. Aku mengalihkan pandangan untuk menyelamatkan mata, lalu mataku tertumbuk pada sebuah bungkusan di atas meja. Sudah lama berada di sana. Seminggu lalu kalau tak salah ingat.
Aku ingat betul hari itu. Waktu itu sebuah hari di bulan Juni. Sore itu sedang hujan, aku duduk memandang ke luar jendela kamar, menghitung tetes-tetes hujan yang menetes di kaca. Lalu segalanya menjadi terang, kelewat terang, silau tepatnya. Ah, sebuah kilat yang besar. Aku mengalihkan pandangan untuk menyelamatkan mata, lalu mataku tertumbuk pada sebuah bungkusan di atas meja. Sudah lama berada di sana. Seminggu lalu kalau tak salah ingat.
Dibungkus kertas coklat polos, tapi tak sesiapapun yang tahu, kecuali aku dan Tuhan-ku bahwa dibalik kertas coklat itu masih ada kertas kado berwarna krem, dengan motif bunga-bunga. Iya, itu adalah sebuah kado berisi buku yang tempo hari aku beli saat tengah iseng menyelinap di toko buku besar. Tahu-tahu aku sudah di berada di depan kasir, membayar harga 2 buku tersebut. Dua? Aku mungkin sudah gila. Terkena virus orang-orang itu, mungkin. Menganggap benda-benda yang couple itu romantis. Tapi toh, akhirnya aku bungkus juga satu dari buku itu. Hendak dikirim ke entah siapa yang mengganggu pikiran yang kebetulan tengah bersedih karena 10 hari sebelumnya jatah umurnya berkurang. Aku ingin menghiburnya, menelponnya dan berbicara lama-lama dengannya mungkin. Tapi tidak kulakukan karena aku sadar, aku perempuan yang masih memegang agama.
Keesokan harinya setelah sore hujan itu, aku pergi mengirimkan kado itu tanpa sebaris pun pesan melalui jasa pengiriman barang milik pemerintah. Biar saja sedikit lebih lama sampai disana. Jadi aku masih punya waktu untuk mengarang alasan seandainya dia nanti bertanya mengapa aku mengirimkan kado buku itu.
Dan tahun ini, saat bulan-bulan mulai bergerak ke arah sana, aku memutuskan mungkin tidak mengirim apa-apa lewat jasa pengiriman barang milik pemerintah itu lagi. Aku akan mengirim doa saja. Lebih aman kupikir, karena perantaranya langsung Tuhan Yang Maha Tahu.
Malang, 20 Februari 2013
#fiksi #malang #aku #jauh
0 komentar:
Posting Komentar