Salah
Aku melihatnya tergopoh memakai sepatu di serambi mushalla, rambutnya masih basah dan lengan kemejanya masih tergulung. Matanya merah kurang tidur, semalam sepertinya ia tak tidur cukup. Ada gurat rasa bersalah dalam keringat di keningnya, yang cepat-cepat dihapus saat tau aku mendekati posisinya.
"Sudah mau pergi lagi?" basa-basi, aku menyapa.
"Iya, sudah ditunggu. Saya duluan ya."
Aku mengangguk kikuk dan cuma bisa menatap punggungnya yang berbalut kemeja khaki menjauh. Mungkin lebih baik jika tadi aku pura-pura tak melihatnya. Entahlah, sejujurnya aku benci situasi ini. Palsu. Aku tau dia juga begitu. Tak mungkin dia tak lelah harus selalu pura-pura bahagia setiap melihatku. Tapi tak ada yang mau mengutarakannya langsung di hadapan masing-masing. Kami sama-sama bersembunyi di balik benteng, lalu memakai topeng.
Aku dulu merasa kuat sekali, bertahan karena aku yakin hati tetaplah hati, bisa berbolak-balik. Tapi kini sepertinya aku mulai kehabisan energi dan harapan. Hati dan kepalanya lebih kuat dari yang kuduga. Cinta bukanlah cinta jika hanya dari satu sisi, jika hanya satu pihak yang berjuang, dan kini aku tahu kenapa ibu masih belum memberikan restu atas pernikahan kami yang tinggal 1 bulan.
Apa dibatalkan saja? Aku diserang ragu.
Aku menggeleng, memperkuat segala perasaan bersalah yang datang menghakimi. Aku yang salah menariknya sejauh ini. Aku bodoh sekali mengira cinta hanyalah masalah waktu. Maaf, maafkan aku yang telah membawa fisikmu sejauh ini, tapi tidak hatimu. Rasamu sepertinya tertinggal beberapa langkah di belakang. Aku kali ini akan membiarkanmu kembali dan memungutnya disana. Kembalilah hanya jika kau sudah siap.
Hmmm entahlah.... saya sedikit terhibur baca cerpenmu...
BalasHapusseandainya waktu bisa kembali...
Baik2 disana ya... kalau ke Jawa bilang... mungkin takdir berkata lain...