Cukup lama
tidak mampir. Selain karena memang tidak disempatkan, saya lumayan gentar
dengan betapa kuat efeknya ranah sosial media belakangan ini. One post, just one post and a thousand
involved.
Sosial media
mungkin bisa jadi benua terbesar jika seluruh penggunanya digabungkan. Jauh lebih banyak dari penonton televisi
maupun pendengar radio. Penduduknya luar biasa beragam, dari yang berkulit
putih, kuning sampai yang hitam. Rentang usia dari yang baru masuk taman
bermain kanak-kanak sampai yang sudah tak sanggup berdiri. Tersebar dari segala
penjuru timur, barat, utara dan selatan bumi. Semuanya berdiri di bawah bendera
akses internet dan menjadi candu bagi sebagian yang lain. Apalagi dengan
kemudahan akses dari telepon pintar atau smartphone, dicari saat bangun tidur
dan tetap digenggam sampai mau tidur kembali. Mungkin pula ada yang sudah
murtad dari dunia nyata dan memilih tinggal menetap di dunia maya. Internet
sudah menjadi salah bagian kebutuhan primer.
Indonesia
termasuk Negara paling bersahabat dengan social media. Satu orang bisa mempunyai
10 jenis akun social media yang berbeda, mulai dari facebook, twitter, tumblr, instagram,
plurk, path, G+, historee, dan masih banyak lagi. Semuanya terhubung hingga
satu postingan yang sama dari orang yang sama bisa kita baca dari seluruh akun social
media nya. Yang ditulis pun beragam, dari yang super sepele seperti bingung mau
makan apa sampai yang maha penting seperti bencana internasional. Satu aturan
yang pasti berlaku: tidak ada privasi atau wilayah pribadi dalam sosial media.
Apa yang
kita posting, tulis, maupun unggah akan menjadi konsumsi publik, walaupun kita
bukan selebritis. Yup… kita tentu masih
ingat dengan kasus oknum D yang dengan ringannya menulis dia merasa di risih
dengan ibu-ibu hamil di commuter line. Satu postingan pribadi di path, dan
sekarang sebagian masyarakat sebuah negara yang punya lebih dari 250 juta penduduk
sedang membully-nya. Ada pula kicauan ga penting dari oknum F yang malah selalu jadi bahan tertawaan seantero jagad twitter. Dari kasus oknum D dan oknum F ini tentu kita bisa belajar etika
bersosial media, jangan gegabah dalam berstatement di sosial media. You’re what
you post.
Banyak pula
contoh lain yang bisa kita lihat. Seorang yang sebelumnya dipuji-puji bisa
tiba-tiba dicaci maki karena sebuah postingan di akun sosial medianya. Memang tidak
adil, tapi kita semakin mudah menghakimi seseorang dari apa yang dia posting.
Jika kebanyakan posting foto makanan, berarti dia suka makan. Jika sering
posting foto selfie berarti dia narsis. Jika banyak puisi-puisi berarti dia romantis.
Selanjutnya semakin mudah, dia orang yang sering galau, dia omdo doang, dia bijak
banget, tukang ngeluh, tukang pamer, dan seterusnya. Kita sering lupa bahwa social
media sering menipu. Kepura-puraan. Apa yang diposting terkadang berbalik 1800
dengan keadaan sebenarnya. Yang paling keliatan ceria bisa jadi yang paling muram,
yang kelihatan paling shalih bisa jadi malah yang paling brengsek.
Adanya,
semakin banyak orang-orang kesepian di sekitar kita. Menyendiri di tengah
keramaian, senyum-senyum sendiri menatap layar gadgetnya. Benarkah itu “sosial”
media?
Selamat
datang di dunia maya.
- Malang, 21 April 2014 -
0 komentar:
Posting Komentar