Pagi ini terbuat dari secangkir susu coklat hangat dan "nyasar" di salah satu artikel yang menuliskan hal-hal keren dan mencengangkan tentang pendidikan. Lalu tersebutlah sebuah nama, Chris Langan. Karena penasaran, akhirnya saya googling dan berkenalan dengannya.
Everybody pasti kenal Albert Einstein, ya kan? Yups, si bapak jenius dengan teori relativitasnya. Tau berapa IQnya? 150.
Sekarang, kalian tau Chris Langan? tidak tau? yasudah... tapi saya akan memberi tau bahwa orang yang ini mempunyai IQ 195. Sempurna! Lalu, kenapa dia tak semega dan semenyejarah Eintein?
Chris lahir dan besar di keluarga yang sangat miskin dan semrawut. Dan hal ini tentu saja membuat pendidikannya terbengkalai. Suatu kali ia mendapat beasiswa di sebuah universitas besar di Oregon. Semester awal nilainya bertabur A, namun semester berikutnya nilainya F semua, beasiswanya dicabut karena alasan yang ga masuk akal, ibunya lalai mengirimkan surat keterangan miskin dan mengaku bingung cara mengisi formulir beasiswanya. Akhirnya 2 kata: drop out. Kemudian dia pernah mencoba kuliah lagi, tapi lagi-lagi drop out karena masalah ekonomi. Akhirnya dia bekerja di pusat kebugaran dan terkenal karena ototnya, bukan otaknya.
Nah, beda dengan Einstein yang meskipun pernah dicap (maap) tolol oleh gurunya saat bersekolah, namun ibunya selalu percaya anaknya bakal jadi orang besar dan memberikan semua perhatian dan apapun yang dibutuhkan sang anak untuk bereksperimen.
Ada penelitian menarik seorang sosiolog Amerika bernama Annete Lereau, ini kutipannya: "Keluarga miskin biasanya membiarkan saja anaknya tumbuh sendiri. Akibat tekanan ekonomi, para orangtua miskin tak memiliki waktu dan uang untuk memberikan perhatian lebih pada kebutuhan anaknya. Mereka juga sangat percaya pada bakat bawaan. Jika anaknya memang cerdas, sang anak dipercaya akan menemukan sendiri jalannya menjadi insinyur atau profesor. Tetapi jika tak berbakat, mau dipoles seperti apapun juga tidak akan bersinar. Masalah lainnya mereka menularkan ketidakpercayaan diri, apatisme, dan kecurigaan pada lingkungan.
Keluarga-keluarga kaya justru sebaliknya, mendatangi guru untuk berdiskusi tentang nilai sang anak atau sekedar menunggui anaknya di pinggir kolam renang atau les piano. Ini bukan bentuk pemanjaan, tetapi pola pengasuhan terpadu (concerted cultivation). "
Kembali menyeberang ke negeri kita sendiri, Indonesia, dimana jumlah orang kaya dan miskin sangat jomplang bedanya. Baru-baru saya membaca tentang pernyataan om Jusuf Kalla yang keras mendukung UN tetap ada. Selepas itu saya setuju, karena bagi saya pribadi UN adalah bentuk evaluasi dari pendidikan formal di sekolah, tapi harusnya tidak menjadi filtering untuk menentukan siswa lulus atau tidak, atau bahkan yang ekstrim: pintar atau bodoh. Namun, pagi ini saya dikagetkan dengan pernyataan Om JK di sebuah gambar, yang berbunyi: "Bila tidak dipaksa maka anak tidak akan belajar. Jangan permisif! Lebih baik seribu anak stress daripada sejuta anak bodoh."
Khusus kalimat terakhir itu... insane.
Saya rasa om JK ngukur dari dirinya sendiri, tentu saja dia belum pernah merasakan pengalaman sekolah seperti Chris Langan, secara dia berkembang di keluarga kaya dan serba ada, mudah mendapatkan sekolah dengan fasilitas lengkap.
Yaudah sih, om JK memang bukan pendidik, toh dia pengusaha, makanya dia mendukung program mobil murah, soalnya dia yang jualan mobil.
Yang namanya pemaksaan tentu saja ga baik, apalagi di usia-usia dini. Itu bakal membelenggu kreativitas dan melahirkan manusia-manusia pemaksa seperti robot dan gemar menyelesaikan perbedaan-perbedaan dengan kekerasan.
Singa sirkus akan mau melewati lingkaran api jika terus-terusan dipaksa dan diancam dengan cambuk atau cemeti oleh pelatihnya, tapi tentu saja kita akan menyebut singa itu terlatih, bukan terdidik. Begitu juga dengan belajar, jika terbiasa menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa belajar, yang akan diingat siswa tentang belajar adalah kekerasan itu sendiri, bahkan dia mungkin akan membenci belajar karenanya.
"Jangan melatih anak untuk belajar melalui paksaan atau kekerasan, tetapi arahkan mereka ke sana dengan sesuatu yang menghibur pikiran mereka, sehingga dengan demikian Anda menjadi semakin lebih mudah menemukan dengan akurat bakat kejeniusan mereka masing-masing."
(Platon)
"Semua orang terlahir jenius. Tetapi jika engkau memaksa seekor ikan harus punya kemampuan memanjat pohon, maka ikan itu akan menghabiskan seluruh hidupnya untuk mempercayai bahwa dirinya bodoh."
(Albert Einstein)
0 komentar:
Posting Komentar