Pernikahan Impian
13 Mei 2011
Sore ini cerah. Langit biru dan angin semilir berhembus. Aku duduk di bangku taman bersama seorang teman diskusi, Rian. Aku makan tahu crispy dan dia baca koran sore. Ada burung merpati yang hinggap di depan kami, aku melemparkan remah-remah terakhir tahu crispyku. Lalu entah bagaimana aku mulai bercerita teman pada yang duduk disampingku bagaimana pernikahan impianku nanti akan digelar. Mencoret-coret bungkus tahu crispy yang sekarang sudah jadi denah ruang pesta pernikahan impian. Rian menutup korannya dan mulai seksama mendengarkan. Kadang hanya manggut-manggut, kadang sesekali menambahkan detail acara, kadang pula hanya tersenyum memperhatikanku mengoceh sesuka hati. Lalu dia menutup ocehanku dengan sebuah pertanyaan ajaib mandraguna, "siapa yang bakal duduk bareng kamu di pelaminan?"
Sehangat pelukan hujan saat kau lambaikan tangan, tenang wajahmu berbisik, ini lah waktu yang tepat untuk berpisah...
(SO7 - Waktu yang Tepat Untuk Berpisah)
13 Mei 2011
Sore ini cerah. Langit biru dan angin semilir berhembus. Aku duduk di bangku taman bersama seorang teman diskusi, Rian. Aku makan tahu crispy dan dia baca koran sore. Ada burung merpati yang hinggap di depan kami, aku melemparkan remah-remah terakhir tahu crispyku. Lalu entah bagaimana aku mulai bercerita teman pada yang duduk disampingku bagaimana pernikahan impianku nanti akan digelar. Mencoret-coret bungkus tahu crispy yang sekarang sudah jadi denah ruang pesta pernikahan impian. Rian menutup korannya dan mulai seksama mendengarkan. Kadang hanya manggut-manggut, kadang sesekali menambahkan detail acara, kadang pula hanya tersenyum memperhatikanku mengoceh sesuka hati. Lalu dia menutup ocehanku dengan sebuah pertanyaan ajaib mandraguna, "siapa yang bakal duduk bareng kamu di pelaminan?"
Aku langsung manyun, menatapnya dengan kesal... 'kenapa sih dia nanya itu?'
"Belum tau!" aku menjawab ketus. "Siapapun nanti yang duduk bareng gue, gue mau dia ga merokok, suka baca buku, dan bisa main sama anak-anak."
Rian tertawa, lalu bertanya "Kenapa?"
"Well, kalo dia merokok tandanya dia ga sayang sama gue dong... masa' iya gue diracunin tiap hari. Trus ya, kan enak gitu kalo punya suami suka baca, wawasannya luas, bisa sering-sering diskusi kan..."
"Kenapa harus bisa main sama anak-anak?"
"Ya biar dia ikut andil dalam ngebesarin anak-anak gue lah... emang sih, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya nanti, tapi tetep aja kepala sekolahnya sang ayah kan?
"Ya biar dia ikut andil dalam ngebesarin anak-anak gue lah... emang sih, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya nanti, tapi tetep aja kepala sekolahnya sang ayah kan?
Rian tersenyum setuju. Lalu mengubah posisi duduknya sepenuhnya menghadap padaku. Berdehem dua tiga kali, lalu dengan lembut memanggil namaku.
"Rasti...."
"Hem... " aku masih sibuk dengan coretan di bungkus bekas tahu crispy.
"Hem... " aku masih sibuk dengan coretan di bungkus bekas tahu crispy.
"Gimana kalo itu aku?"
"Eh, apanya?" aku bingung.
"Darina Parasti, gimana-kalo-aku-yang-nemenin-kamu-duduk-di-pelaminan-?"ucapnya patah-patah.
Aku secara dramatis mengangkat kepala dan menatapnya. "Elo becanda jangan soal beginian dong.."
"Siapa yg becanda, aku serius kok. Aku merasa sudah memenuhi 3 syarat tadi. Pertama, aku ga pernah merokok. Kedua dan ketiga, kamu bisa tau sendiri lah, di rumahku ada berapa banyak buku dan adik-adikku, dan seberapa sering aku interaksi sama mereka. Aku rasa kamu tuh harus dijaga dan sedikit diperbaiki, pelan-pelan dengan cinta pasti bisa. Dan aku mau ngelakuin itu, seumur hidup pun. Jadi, gimana... kamu mau jadi sekolah buat anak-anakku nanti?"
Merpati-merpati tadi sudah terbang pulang dan senja yang terbenam di sebelah barat sana sukses membuat pipiku semakin merona merah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
20 Oktober 2013
Aku pelan-pelan menaiki tangga pualam putih menuju ruang resepsi.
Ruang resepsi itu megah, dengan dekorasi dominan berwarna hijau-putih, seperti impianku.
Kain merah jambu panjang terpajang di pintu masuk, tempat para undangan bisa menuliskan doa dan harapan kepada sang pengantin, seperti impianku.
Ada rumpun bunga tulip putih segar di setiap sudut dan mengalun merdu lagu Teman Hidup dari Tulus, seperti impianku.
Semua tamu undangan yang datang duduk menikmati hidangan tersenyum bahagia, itu juga persis seperti impianku.
Ini sempurna resepsi pernikahan impianku... yang telah aku rancang dari bertahun-tahun lalu.
Rian terlihat paling bahagia. Tak henti-henti menebar senyum ke seluruh penjuru. Lalu saat melihatku, ia tertegun sebentar lalu senyumnya semakin lebar. Aku melambai sebentar ke arahnya dan bergerak maju menuju pelaminan.
"Selamat ya, Kin, Yan..." aku menyalami Kinar, adik juniorku di club sastra kampus dulu dan tersenyum pada Rian.
Kinar, yang tampak cantik sekali memakai gaun putih tersenyum, "Makasih ya mbak Rasti mau datang..."
"Iya, gue seneng banget Ras, elu dateng. Lu bareng siapa kesini?" tanya Rian.
Aku merasa ada jeda yang panjang. Aku mencoba tersenyum, dan menjawab, "Seperti biasanya lah... sendiri, Yan.. hhee.. gue seneng juga nerima undangan elu."
Tamu-tamu sudah banyak yang pulang. Aku yang ditahan agar tak pulang dulu oleh keluarga Rian akhirnya memilih duduk di kursi undangan dan membuka smartphone-ku, mengecek beberapa email yang baru masuk dari universitas tentang kepulanganku ke negara ini.
Kinar tampak sibuk meladeni teman-temen kuliahnya ngobrol di panggung, tertawa-tawa bahagia sambil sesekali membenarkan bouquet bunganya. Rian akhirnya memilih turun dari panggung dan duduk dua bangku di sampingku.
"Lu bakal lama disini, Ras?"
Aku tersenyum, memasukkan smartphone-ku dalam clutch toska yang kubawa dan menggeleng, "Nggak, Yan...kemungkinan gue bakal balik lusa, ga dapat ijin cuti lebih dari universitas nih.."
Rian ber-ooooh panjang. Lalu diam. Aku juga diam. Ada sepi panjang dan dingin yang menerjang..
Akhirnya aku kalah melawan perasaanku, aku pamit pada Rian, pada Kinar, pada keluarga Rian yang menyerah membujukku tetap tinggal.
Aku tak mampu tetap di sana. Semakin lama melihat semua detil pesta pernikahan ini semakin getir dan sakit hatiku. Dan tentu saja fakta yang paling menyakitkan adalah, bukan aku yang duduk bersama Rian di pelaminan. Bukan aku.
Waktu dan jarak memang bisa merubah perasaan hati manusia. Perasaan hati Rian tepatnya. Dua tahun lalu aku memutuskan mengambil schoolarship S2 ke Finlandia. Rian juga ambil S2, tapi tetap di Indonesia sambil menjaga orangtuanya. Kesibukan kami di tahun kuliah membuat komunikasiku dengan Rian semakin renggang seiring waktu. Lalu berhenti sama sekali. Dan minggu lalu sebuah undangan tiba di flatku. Undangan yang membuatku berada di sini hari ini, undangan pernikahan Rian.
Setengah berlari aku menuruni tangga keluar gedung, menahan air mata yang hendak tumpah ruah sedari tadi. Pandanganku semakin kabur dan akhirnya aku jatuh di undakan tangga terbawah yang licin. Aku tak kuat lagi menahan air mata, ia lolos bertetes-tetes melewati pipiku. Aku bahkan tak sanggup lagi berdiri. Aku menangis sendiri di bawah hujan. Bahkan, menikah di musim penghujan seperti ini adalah impianku.
"Eh, apanya?" aku bingung.
"Darina Parasti, gimana-kalo-aku-yang-nemenin-kamu-duduk-di-pelaminan-?"ucapnya patah-patah.
Aku secara dramatis mengangkat kepala dan menatapnya. "Elo becanda jangan soal beginian dong.."
"Siapa yg becanda, aku serius kok. Aku merasa sudah memenuhi 3 syarat tadi. Pertama, aku ga pernah merokok. Kedua dan ketiga, kamu bisa tau sendiri lah, di rumahku ada berapa banyak buku dan adik-adikku, dan seberapa sering aku interaksi sama mereka. Aku rasa kamu tuh harus dijaga dan sedikit diperbaiki, pelan-pelan dengan cinta pasti bisa. Dan aku mau ngelakuin itu, seumur hidup pun. Jadi, gimana... kamu mau jadi sekolah buat anak-anakku nanti?"
Merpati-merpati tadi sudah terbang pulang dan senja yang terbenam di sebelah barat sana sukses membuat pipiku semakin merona merah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
20 Oktober 2013
Aku pelan-pelan menaiki tangga pualam putih menuju ruang resepsi.
Ruang resepsi itu megah, dengan dekorasi dominan berwarna hijau-putih, seperti impianku.
Kain merah jambu panjang terpajang di pintu masuk, tempat para undangan bisa menuliskan doa dan harapan kepada sang pengantin, seperti impianku.
Ada rumpun bunga tulip putih segar di setiap sudut dan mengalun merdu lagu Teman Hidup dari Tulus, seperti impianku.
Semua tamu undangan yang datang duduk menikmati hidangan tersenyum bahagia, itu juga persis seperti impianku.
Ini sempurna resepsi pernikahan impianku... yang telah aku rancang dari bertahun-tahun lalu.
Rian terlihat paling bahagia. Tak henti-henti menebar senyum ke seluruh penjuru. Lalu saat melihatku, ia tertegun sebentar lalu senyumnya semakin lebar. Aku melambai sebentar ke arahnya dan bergerak maju menuju pelaminan.
"Selamat ya, Kin, Yan..." aku menyalami Kinar, adik juniorku di club sastra kampus dulu dan tersenyum pada Rian.
Kinar, yang tampak cantik sekali memakai gaun putih tersenyum, "Makasih ya mbak Rasti mau datang..."
"Iya, gue seneng banget Ras, elu dateng. Lu bareng siapa kesini?" tanya Rian.
Aku merasa ada jeda yang panjang. Aku mencoba tersenyum, dan menjawab, "Seperti biasanya lah... sendiri, Yan.. hhee.. gue seneng juga nerima undangan elu."
Tamu-tamu sudah banyak yang pulang. Aku yang ditahan agar tak pulang dulu oleh keluarga Rian akhirnya memilih duduk di kursi undangan dan membuka smartphone-ku, mengecek beberapa email yang baru masuk dari universitas tentang kepulanganku ke negara ini.
Kinar tampak sibuk meladeni teman-temen kuliahnya ngobrol di panggung, tertawa-tawa bahagia sambil sesekali membenarkan bouquet bunganya. Rian akhirnya memilih turun dari panggung dan duduk dua bangku di sampingku.
"Lu bakal lama disini, Ras?"
Aku tersenyum, memasukkan smartphone-ku dalam clutch toska yang kubawa dan menggeleng, "Nggak, Yan...kemungkinan gue bakal balik lusa, ga dapat ijin cuti lebih dari universitas nih.."
Rian ber-ooooh panjang. Lalu diam. Aku juga diam. Ada sepi panjang dan dingin yang menerjang..
Akhirnya aku kalah melawan perasaanku, aku pamit pada Rian, pada Kinar, pada keluarga Rian yang menyerah membujukku tetap tinggal.
Aku tak mampu tetap di sana. Semakin lama melihat semua detil pesta pernikahan ini semakin getir dan sakit hatiku. Dan tentu saja fakta yang paling menyakitkan adalah, bukan aku yang duduk bersama Rian di pelaminan. Bukan aku.
Waktu dan jarak memang bisa merubah perasaan hati manusia. Perasaan hati Rian tepatnya. Dua tahun lalu aku memutuskan mengambil schoolarship S2 ke Finlandia. Rian juga ambil S2, tapi tetap di Indonesia sambil menjaga orangtuanya. Kesibukan kami di tahun kuliah membuat komunikasiku dengan Rian semakin renggang seiring waktu. Lalu berhenti sama sekali. Dan minggu lalu sebuah undangan tiba di flatku. Undangan yang membuatku berada di sini hari ini, undangan pernikahan Rian.
Setengah berlari aku menuruni tangga keluar gedung, menahan air mata yang hendak tumpah ruah sedari tadi. Pandanganku semakin kabur dan akhirnya aku jatuh di undakan tangga terbawah yang licin. Aku tak kuat lagi menahan air mata, ia lolos bertetes-tetes melewati pipiku. Aku bahkan tak sanggup lagi berdiri. Aku menangis sendiri di bawah hujan. Bahkan, menikah di musim penghujan seperti ini adalah impianku.
0 komentar:
Posting Komentar