Selasa, 14 Januari 2014

tontonan dan tuntunan

Leave a Comment
Beberapa bulan terakhir ini saya cukup resah dengan segala tayangan di media teve yang kian hari kian bikin bergidik. Acara joget-joget ekstrem, komedi slapstick, dan sinetron-sinetron pathetic yang saban hari diputar. Dan semakin parahnya, hampir semua stasiun teve swasta serentak memutarkannya pada jam tayang nonton teve. Pembelajaran apa yang diharapkan dari semua tontonan itu? 

Saya dulu banget pernah sekali dua kali ikut menonton, dan secara spontan langsung berasa efeknya pada kemerosotan mental. Dijejali lelucon-lelucon garing, sapaan-sapaan kasar yang membully fisik, dan adegan-adegan yang ga pantas untuk ditampilkan sebenarnya. Pada puncaknya, saya baca seorang anak sekolah dasar di daerah menirukan salah satu goyangan yang menjadi fenomenal itu sambil membuka resleting celana di depan teman-teman perempuannya.

Jika boleh, saya ingin memukuli dinding sambil menangis dan melempar alas kaki pada orang-orang pertelevisian yang mendewakan rating hingga menjual harga diri.

Saya sendiri, tumbuh dan besar di salah satu pelosok timur Indonesia. Ada akses, tapi terbatas. Dan saya tidak merasa ada yang salah dengan itu. Justru sekarang saya merasa bersyukur dan bahagia luar biasa mengingat masa kecil saya yang lurus dan sederhana. Mengejar layangan, berenang di laut, nangkap belalang, dan membaca majalah Bobo yang telat datang. Tidak ada mall, tidak ada geng motor. Lalu, juga tidak pernah terpikir akan melanjutkan studi dan hidup sebagai penduduk tambahan di Malang, kota (yang cukup) besar dan menjadi hulu puluhan ribu mahasiswa dengan gaya hidup yang beragam dan kadang pula menjerumuskan.

Ini tahun 2014, dimana banyak sekali orang-orang yang shalatnya terakhir entah kapan dan dengan tanpa malu maksiat di depan khalayak. I can't imagine how about 10 or 15 years coming..
Lalu saya berfikir, relakah saya jika nanti anak saya ditumbuhkembangkan dengan semua itu? Sekuat-kuatnya orangtua memenjarakan anak-anaknya dari pengaruh buruk environment, pasti ada celah dan membuat si anak melongok dan menyadari dunia seperti apa yang ditinggalinya.

Pada titik ekstrem (dan oh, saya berdoa semoga saya tidak benar-benar harus melakukannya), saya bilang pada seorang teman, mungkin saya akan memilih mengungsi di sebuah dusun tepi hutan terpencil sejak hamil dan membesarkan anak saya.

"zaman sekarang banyak tontonan jadi tuntunan, tapi banyak tuntunan malah hanya jadi tontonan." - K. H. Anwar Zahid



0 komentar:

Posting Komentar