Selasa, 20 Agustus 2013

Agama Pencarian

Leave a Comment
"I choose not to judge blindly, since i'm not blind. I see, watch, think, discuss, and decide what to believe."
Bismillahirrahmanirrahim....

Saya akan memulai tulisan ini dengan memberikan dua buah analogi.
Yang pertama: 'Agama yang masing-masing kita anut (saya, Islam) adalah agama primer' 
dan yang kedua: 'club bola atau group band atau apalah yang bisa dielu-elukan itu adalah agama sekunder' 


(gambar dari sini)

Darimana asal pertemuan kita dengan agama primer? Kebanyakan karena transferan turunan. Orang tua saya Islam, maka itu saya juga Islam. Jelas. Lalu darimana asalnya pertemuan dengan agama sekunder? Bagaimana bisa begitu fanatik dengan club bola yang selalu setia ditunggu berlaga itu? Pencarian. Sebuah perhentian setelah menghabiskan waktu mencari dan meneliti, lalu menemukan. Atau minimal ikut-ikutan teman lah jika diujung pencarian tak menghasilkan. Bukan begitu? 

Berikutnya, dengan tingkat kesotoyan absolut tingkat dewa, saya akan coba menyangkutpautkan urusan agama primer dengan agama sekunder ini. Saya ambil studi kasusnya dari hidup saya sendiri.
Dalam keluarga kecil saya, tidak ada kebiasaan bagi-bagi THR atau hadiah saat hari raya maupun hari-hari yang dirasa special. Nothing. Sejak saya SD dulu, alhamdulillah nilai rapor saya selalu bagus, tapi saya tidak pernah mendapat hadiah di akhir semester dari orangtua saya. Suatu kali di kelas 4 saya pernah meminta kepada ibu saya, lalu ibu saya balik bertanya, "Memangnya kamu belajar untuk siapa?", saya diam, ga paham. Lalu ibu saya melanjutkan, "Yaudah, mau beli apa?" saya masih tetap diam, karena saya ga tau sebenarnya apa yang saya inginkan waktu itu. Secara, semua kebutuhan hidup saya (insya Allah) sudah cukup terpenuhi. Akhirnya saya cuma minta dibelikan ice cream coklat saat itu (FYI, saya punya amandel masa itu, jadi ice cream adalah something special for me). Dan setelahnya, di hari-hari pembagian rapor, saya tak pernah meminta hadiah lagi.

Lalu, saat saya SMP, teman-teman saya memperkenalkan istilah 'angpau' saat lebaran. Saya pun sekali lagi mencobanya pada ibu saya, "Bu, temen-temen dapet angpau kalo puasanya full sebulan. Saya juga mau, bu..." Jawaban ibu saya pun ternyata masih sama dengan jawaban saat lalu, "Loh, memangnya kamu puasa untuk siapa? untuk ibu?" Saya diam, tapi kali ini disertai dengan mulai sedikit berpikir, "iya yah.. bla... bla.. bla.... "
Saat itulah saya mulai mencari tau untuk apa berpuasa, kaya' lagu sih: ada anak bertanya pada bapaknya, buat apa lapar-lapar berpuasa~~ 
Etapi serius, dari situlah akhirnya saya mulai banyak cari tau tentang kenapa harus begini, kenapa harus begitu. Awal kritis-nya saya lahir disini.

Lalu pas kelas 1 SMA, saya udah mulai ikut halaqoh, tapi waktu itu saya masih belum berkerudung. Saya tinggal di lingkungan yang tidak terlalu mendukung untuk menunjukkkan simbol-simbol keagamaan yang berbeda dengan penduduk asli. Jadi ya semacam bongkar pasang pakenya. Kalo berangkat halaqoh, kalo sekolah atau bimbel ya enggak. Guru ngaji saya pun ga mempermasalahkan hal ini, mengingat kondisi lingkungan kami tadi.
Lama-kelamaan ngerasa gerah sendiri dengan bongkar pasang saat itu. Saya pikir saya ga bisa gini terus-terusan. Capek. Pencarian selanjutnya pun dimulai!
Mulai searching tentang (si)apa yang mewajibkan perempuan untuk menutup aurat, kenapa harus ditutup, apa aja yang harus ditutup, sampai konsekuensinya. Setelah ketemu, saya print, pelajari, dan pikirkan (filenya masih ada sampai sekarang). Ga sampai disitu, saya pun banyak diskusi dengan guru ngaji dan guru agama saya di sekolah. Juni 2008, saya mantap menutup aurat, tapi masih sebatas pake celana jeans atau celana cargo, kaos, dan kerudung instan. Beuh, banyak tantangannya ternyata... dari masyarakat sekitar, temen-temen, pihak sekolah, apalagi dari ribuan siswa/i seluruh sekolah, cuma 9 orang termasuk saya yang berkerudung. Tapi karena saya memilih bertahan karena saya sudah paham dan tau kewajiban tentang menutup aurat ini.

Saat keluar dari rumah dan masuk kuliah, barulah wawasan menutup aurat saya mulai meluas sedikit demi sedikit. Mulai pake rok, kerudung yang lebih tebel, kaos kaki, terus kerudung yang dilebarkan sampai menutup dada. Itu semua melalui proses pencarian, penelaahan, dan pemahaman yang panjang x lebar dan melalui banyak sekali tahapan #halah
Dan sampailah pada bayangan saya di cermin sampai hari ini. Meski masih jauuuuuh sekali dari sempurna yang dicontohkan istri Rasul dan shahabiyah, tapi insya Allah saya berusaha istiqomah dengan jalan ini.

Saya merasa hidup dengan agama yang diturunkan pada saya, tapi juga disertai dengan melalui proses pencarian. Dan itu membuat saya merasa punya tanggungjawab yang besar kalo saya ga menjalankan apa-apa yang diperintahkan kepada saya. Nabi Ibrahim juga akhirnya mengenal Allah setelah melakukan berbagai pencarian tentang apa atau siapa itu tuhan, kan?

Sampai sini paham?
 
Miris sekali melihat beberapa teman dan kenalan yang secara terang benderang ngaku kalo udah pacaran atau yang makin minimalis kerudungnya semenjak keluar dari pondok, sampai yang bohong sama orangtuanya puasa sebulan penuh demi THR melimpah, saya yakin mereka tahu, tapi belum tentu paham dan sadar apa yang dilakukan. Karena agama (mungkin) bagi mereka adalah transferan keyakinan dari orang tua atau pondok. Benar kan ya, hidayah itu dikejar, bukan ditunggu. Dan menurut saya, salah satu cara mengejar hidayah itu dengan mencari tau ilmunya dan lalu menyegerakan. Ga pake nunda-nunda.

Maka jangan heran ketika club bola pujaan menggelontorkan goal ke gawang lawan saat final liga lebih heboh euforianya ketimbang saat kita bisa bangun dan menjalankan qiyamul lail di sepertiga malam. Selebrasi saat menonton tim kita menang seperti lompat-lompat, toss, dan lari-lari muter lapangan tak usahlah dibandingkan saat kita bisa puasa full di bulan Ramadhan. Pernah liat ada orang lari-lari lapangan karena kesenangan bisa ga bolong puasanya? Saya belum. Bilang ya kalo ada.


0 komentar:

Posting Komentar