Malang, 5 Desember 2010
Pendahuluan
Pukul 10.25 saya keluar kostan sambil membaca sms dari Dian, “Aq dah d galuh”. Haduh, dimana tuh kostan Galuh? Dipikir sambil jalan sajalah. Seingat saya Dian pernah bilang kalo kostan Galuh lebih deket kalo lewat makam depan BC. 10 menit kemudian, dengan dipandu insting dan analisis yang pernah Shinichi Kudo ajarkan kepada saya, Alhamdulillah….ketemu juga tempat yang dicari.
“Firda belum datang?” tanya saya pada Dian.
“Durung, de’e ga sms awakmu ta?”
“Katanya sih tadi baru otw….”
Huuh, si Firda itu ga pernah ontime, pasti telat mulu. Ga ke kampus, ga kemana-mana…pasti molor!!
Padahal pas dia ulang taun kemarin udah dibeliin jam tangan, maksudnya biar kalo janjian tu datangnya tepat waktu, ga telat lagi. Kita juga udah milihin jam tangan yang bukan terbuat dari karet, tapi tetap aja jamnya ngaret.
Isi
Pukul 10.50 Firda datang dan kita berempat langsung berangkat. Tunggu dulu, saya belum bilang kami mau kemana ya? Hehehe…sori, kami berempat janjian mau ke Malang Islamic Book Fair di Gedung Skodam depan bunderan Tugu itu. Lihat sana, lihat sini, beli ini, beli itu…setelah capek muter-muter gantian ceklik-ceklik sebentar di bunderan Tugu.
Udah siang, perut pun mulai keroncongan (maksud saya perutnya bunyi kerucukan karena lapar, bukan nyanyi lagu keroncong Jawa). Setelah debat mau makan apa dan dimana, kami akhirnya muwafiq makan di Warung Steak and Shake di Jalan Kawi. Sambil makan, Dian dan Galuh ngajak main ke rumahnya Firda. (Hayooo…saya sih setuju-setuju saja).
Makan selesai, tak lupa membayar….kami keluar dan langsung diguyur hujan. Nyesel sih, napa tadi ga makan lama-lama sekalian nunggu hujan reda. Tapi udah terlanjur keluar, masa’ iya mau masuk lagi?? Ngiyup sebentar di samping studio foto (saya lupa ga liat namanya).
Jam 14.15 hujan agak reda…perjalanan pun berlanjut. Lewat alun-alun, trus belok kiri, lurus, belok kanan, lewat tikungan, lurus lagi, belok lagi…eh, jangan diikuti, ga bakal nyampe di rumahnya Firda, orang saya asal nyebutin jalannya koq. Saya kan ga tau lewat jalan mana, daerah mana…
Rasanya ini kali pertama saya ke daerah ini. Apa namanya, Kasin? Klayatan? Sukun?? Duuhh…koq jauh sekali yaa..saya yang dibonceng sampe pegel karena sedari tadi dibonceng cewek. Mana belum sampai-sampai lagi…
“Fir, rumahmu masih jauh?” saya ga tahan untuk bertanya setiap 5 menit.
“Belum,ni masih di daerah ini, ini, trus baru ini…”
Entah karena saya unfamiliar dan baru sekali datang ke tempat itu, atau memang tempatnya yang jauh dari lokasi tempat saya tinggal, saya merasa duduk lamaaaaaaaaa sekali (kalo meminjam istilahnya Dian, luuaaaamaaaaaa………) di atas motor. Naik turun tanjakan, melewati pohon-pohon bambu, jalan yang becek karena baru turun hujan, saya merasa sedang berada di tempat Nenek saya di Desa Ceker, Blimbing, Sragen, Jawa Tengah. Jadi pengen kesana lagi…
Dan, tiba-tiba saya sadar sesuatu. Ya Allah, saya baru tau jarak yang harus ditempuh Firda setiap mau ke dan dari kampus kami. Respect saya padanya pun bertambah berlipat–lipat. Menurut prakiraan awam saya sih sekitar 25 km (seperti jarak rumah saya ke Pantai Marauw, tapi saya tidak tau itu bener atau ga, karena saya belum ngukur sendiri, saya hanya liat di petunjuk jalan). Tapi untuk memastikan saya nanya Firda untuk menanyakan jarak antara rumahnya dan UIN, jawabnya: “Brp ya? Gtw 6 kilo palg,.”
Haah? 6 kilo? Ga ah…kedekatan tu… ah, ambil tengahnya aja biar adil, 15 km. Gimana?
Pukul 15.00 akhirnya sampai di rumah Firda. Beuh, saatnya meluruskan kaki…pegel. Er, padahal sudah tau kita tadi barusan makan, eh, di rumah Firda masih disuguhi lagi makanan dan minuman. Bakpia, Piattos, Pear Shandong, Sirup Cocopandan…..
Setelah ngobrol ngalor ngidul ga jelas, saya, Dian, dan Galuh pamit. Rencana awalnya saya dan Galuh pulang naik angkot karena memang pulang ke Sumbersari, sedangkan Dian juga langsung pulang ke rumahnya. Tapi ternyata ada perubahan rencana, Dian mau ke kostnya Galuh ngambil sesuatu. Ya udahlah saya pulang naik angkot sendiri, jangan khawatir, saya berani koq. Begini-gini kan saya juga pemegang sabuk kuning Karateka (tanpa bermaksud menyombongkan diri, pamer aja dikit, hohoho XP)..
Karena rumah Firda letaknya “agak di pedalaman”, jadi saya harus nunggu angkot di jalan besar. Yes, saya dipercayakan Firda untuk menggonceng dia sampai di Kasin . Padahal sebelumnya pengalaman saya hanya pernah mengendarai motor matic 2 kali, itupun di jalan-jalan kecil. Pertama di kompleks kostan Puput di Bukit Cemara Tujuh depan Universitas Muhammadiyah dan yang kedua dari gang belakang Masjid Tarbiyah sampai depan kostan saya. Ternyata rasanya sama saja dengan naik motor manual seperti Karisma saya di rumah.
Pukul 16.45 saya masih menunggu angkot di Kasin. Kata Firda naik GL aja biar ga muter-muter. Ok, GL. 5 menit kemudian, mana ni GLnya? Perasaan dari tadi yang lewat MM, MA, LG doang… ya udahlah naik LG aja daripada kesorean. Toh, lewat UIN juga.
Penutup
15 menit sebelum adzan Magrib saya sampai di kostan dalam keadaan utuh dan selamat. Alhamdulillah…
Namun, yang masih mengganggu, menggantung, dan menggelayut pikiran saya adalah jarak rumah sahabat-sahabat saya ke UIN. Dian, saya pernah ke rumahnya, musti naik angkot 2 kali dan turun dari angkot masih harus jalan kaki kira-kira sejauh dari UIN ke sekitar pasar Dinoyo. Gempor betis saya….ckckck. Rosita juga, hampir tiap hari rela bolak-balik Malang-Blitar demi bertemu mamanya. Apa ga capek tu orang?? Masya Allah, benar-benar butuh perjuangan lebih jika di musim hujan seperti ini. Apalagi kalo udah terlanjur datang ke kampus lalu dosennya ga datang atau terlambat denger berita kelas diliburkan seperti yang sering terjadi pada Dian.
Sungguh, Kawan…inilah rasanya bermanis-manis mencari ilmu. Dulu saya sering menyindir mereka berdua yang dari lahir hingga kuliah tetep di Malang dengan kata mutiara dari Imam Syafi’i yang ada di novel Negeri 5 Menara. Begini bunyinya:
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tidak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Kau tahu, Kawan..sebenarnya saya iri pada kalian. Kalian bisa menuntut ilmu tetap ditengah-tengah keluarga. Duuh, saya sekarang jadi malu sendiri. Saya ternyata belum ada apa-apanya dibanding kalian yang tiap hari bolak-balik rumah-kampus untuk kuliah atau hanya sekedar belajar bersama. Saya juga minta maaf sebesar-besarnya karena dulu sering muring-muring jika kalian datang telat (specially for Firda. Really, I’m sorry…. T-T )
Dan hari ini saya menemukan sepotong mozaik hidup saya dari tiga sahabat saya yang begitu sering menularkan ilmunya dan telah mengajarkan saya tentang banyak hal. Ilmu Informatika, kehidupan ini, Islam, dan indahnya ukhuwah kita.
Super, duper terima kasih kepada Allah SWT yang telah mempertemukan dan menjalinkan persahabatan dengan orang-orang yang luar biasa ini.
sangat bahagia mengenal kalian….
4 hari yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar