Senin, 30 September 2013

Dakwah

Leave a Comment
Say hello to the end of September. Waktu terasa cepat sekali berlalu. Tak terasa sudah hampir 5 tahun saya berdiam di Malang, hingga saya kembali merenungkan apa saja yang telah saya beri dan dapatkan disini. Kembali ke masa-masa galau di tingkat 2 kuliah, apa yang bisa saya lakukan, apa manfaat yang telah saya berikan ke orang lain, ke mana arah hidup saya ini. Satu pertanyaan penting buat diri saya pribadi, "kenapa saya akhirnya memilih berjalan di jalan dakwah ini?".

Mudah saja saya menjawab pertanyaan orang-orang sekitar saya mengapa saya bersibuk-sibuk dan bercapek-capek mengurus anak orang. Teman bukan, saudara bukan, siapa sih mereka? Mungkin ada ribuan opsi kata yang bisa saya rangkai menjadi sebuah jawaban yang manis dan terdengar apik untuk meningkatkan citra diri yang bisa saya sampaikan ke orang lain tentang alasan saya mengapa saya memilih mengabdikan diri di jalan ini. Tapi betapa itu berubah menjadi sulit ketika yang bertanya adalah diri sendiri. Bahkan sampai setahun lalu saya sudah diamanahi beberapa kelompok mentoring, pertanyaan itu masih belum terjawab.

Perjalanan di jalan dakwah ini begitu panjang dan berliku. Perjuangan tetap berada di lintasannya adalah perjuangan hidup itu sendiri. Pernah merasakan tawa, tangis, haru, sedih, bahagia, bosan, marah, kecewa, semangat, bingung, penat, capek, ditolak, takut, prihatin, dan ribuan emosi lain dalam perjalanannya. Emosi-emosi itu yang akhirnya mengikat kami, para pelaku dakwah, sebagai pengikat yang lebih kuat dari apapun, hingga ukhuwah kami satu, sampai sekarang ini.

Dakwah, mungkin pun sudah tertanam jauh-jauh hari sebelum saya memilih untuk bergabung disini. Dakwah adalah cinta. Dakwah adalah sikap hidup bagaimana kita memperlakukan orang lain. Dakwah adalah kumpulan kesimpulan tentang pengalaman hidup dan akan kemana setelahnya. Dakwah adalah rasa takjub melihat perbedaan hitam atau putih. Dan secara sederhana mungkin inilah jawaban saya atas pertanyaan saya sendiri, karena dakwah adalah bukti aktualisasi diri. 


Read More...

Senin, 23 September 2013

dari Keracunan sampai Kerasukan

Leave a Comment
Kamis ceria. Setelah koordinasi dengan tim Solidaritas Peduli Jilbab regional Malang di GOR Pertamina UB untuk unjuk taring kami yang pertama di Kemuslimahan FISIP UB sore itu, saya langsung meluncur ke rumah Tyas. Seperti biasa, saya menemani Tyas belajar sampai ba’da maghrib. Snack saya sore itu adalah siomay yang dibeliin mamanya Tyas di pedagang siomay keliling. Saya pun makan siomay itu dengan santai tanpa menaruh prasangka apapun. Tak disangka, saat saya pulang dan melewati SoeHat- M.T Haryono – Gajayana yang  macetnya naudzubillah, saya mulai merasa pusing, disorientasi (halah), dan mual. Bahkan sesampainya di kostan saya langsung tergeletak tak berdaya. Satu jam kemudian akhirnya saya bisa lari-lari lagi, tapi larinya ke kamar mandi, trus muntah-muntah L.  Teman-teman saya yang watir menawarkan diri untuk membelikan air kelapa, tapi saya tolak karena sok tidak mau merepotkan, apalagi saat itu sudah malam. Yah, sulit untuk mengakuinya, ini ga keren sama sekali tapi saya tumbang, keracunan makanan oleh siomay.

Esok paginya, saya masih tergolek di kasur, lemes dan lapar, setelah malemnya muntah-muntah sampai tengah malam, tetapi hari ini ada 2 agenda penting (sebenarnya 3, tapi yang satu saya tinggalkan karena waktunya benar-benar beririsan dan lokasinya berjauhan). Merasa harus bangun akhirnya saya nelpon ibu dan menceritakan keadaan saya. Yah, emak-emak itu emang ruarrr biasa yah… selalu tau apa yang harus dilakukan dalam keadaan kritis.

Minum susu putih. Harusnya itu yang pertama saya lakukan sejak semalem untuk pertolongan pertama… ibu saya pun udah ngomel-ngomel karena saya baru bilang. Yah, my fool, mak… L Akhirnya subuh itu makan sereal+susu putih kental+pisang. Trus paginya langsung ke InBis UB. Masih pusing dan lemes sebenarnya, tapi pagi itu saya dapat amanah untuk jadi peraga tutorial khimar syar’i dan jaga stand jilbab wear , jadi ga bisa saya tinggal. Langsung gelar lapak dagangan. Trus nunggu giliran tampil setelah ust. Felix Siaw dan Mbak Peggy Melati Sukma.

Jam 13.30 langsung meluncur ke sekretariat buat syuro, pulangnya baru beli degan. Malemnya saya memutuskan untuk tidur lebih awal karena masih lemes. Tapi belum lama tidur, saya dikagetkan oleh temen-temen kostan yang teriak-teriak dan nggedor-nggedor pintu kamar. Rupanya, di sebelah kamar saya ada yang kerasukan. Ehem, ini pertama kalinya kejadian di kostan saya dan anehnya, yang kerasukan pun bukan anak kostan saya, melainkan saudara temen saya yang kebetulan sedang nginap disitu. 

Kampretnya teman-teman yang lain ga ada sama sekali yang berani,  akhirnya saya dan saudaranya itu yang mencoba ‘ngajak ngobrol’ si mbaknya. Awalnya saya ambil Quran sambil baca ayat Qursiy, trus saya pegangkan ke kedua tangannya, tapi tangannya sudah terlanjur kaku dan dia mulai teriak-teriak. Matanya nyalang. Saya coba berkompromi, saya akan berhenti baca ayat Qursiy kalo dia pergi, tapi dia nolak. Lalu dia mulai nunjuk-nunjuk kami dan teriak “panas, panas…pergi, pergi!!” dengan suara tinggi. Sialnya, saudaranya itu gentar dan ikut kabur keluar kostan, tinggallah saya sendiri.
Iya, gila mereka itu… 

Saya sendiri sadar, saya ga bisa gitu aja nyuruh ‘dia’ pergi apalagi dengan keadaan jasadiyah dan ruhiyah saya yang sedang ngedrop. Gimana kalo ‘dia’ tiba-tiba marah dan nyekik atau melukai saya? Nah, sebenarnya saya tau saya ga boleh ninggalin orang yang kerasukan sendirian, tapi ini gimana saya juga ditinggal sendirian…

Akhirnya saya ikut keluar kostan dan nunggu bantuan dari tetangga sekitar. Akhirnya ada ustad dari pondok deket kostan yang mau nolongin dan berhasil ngusir si ‘mbak’ keluar. Yah, bisa dibayangin sampai hari ini keadaan kostan masih belum stabil. Temen-temen yang lain masih minta dianter ke kamar mandi dan ga berani tidur sendiri di kamar masing-masing. Jadilah kami tidur beramai-ramai di ruang teve. Saatnya kembali mengeluarkan sleeping bag, yeaaah… 


n.b.:
saya merasa bodoh di beberapa adegan, misalnya saat saya tidak bersegera mencari penawar saat keracunan makanan, memaksakan diri berkegiatan saat tubuh lemas dan sakit, serta sok berani mengahadapi orang yang kerasukan sendirian. Er, yah… my fool, don’t try it ya L


Read More...

Senin, 16 September 2013

Random

Leave a Comment
"Perempuan itu bukan tentang apa yang dia katakan, tapi tentang apa yang tidak dia katakan."

Banyak yang ingin terkatakan, tapi tak tahu harus dimulai dari mana dan ragu apa memang harus dikatakan.
Aku rindu obrolan berat dan dalam tanpa tema hilang sadar hingga lupa waktu, lalu kita tertawa. Aku rindu masa-masa aku bebas menceritakan mimpi-mimpi yang aku punya tanpa takut akan ditertawakan atau dilecehkan. Aku rindu saat-saat menceritakan ide-ide gila dan terliarku tanpa khawatir aku akan dikira aneh dan tidak normal.
Aku menahan untuk tidak bercerita, agar aku bisa mendengar cerita.

Tirai khaki emas sempurna menutup jendela gelap tanpa cela. Lampu kamarku masih menyala. Dan aku pun masih terjaga. 
Kata-kata berlompatan di kubikel-kubikel otakku, dari satu cerita ke kejadian lain. Tak sepenuhnya aku pahami. Tapi ini jelas mengganggu.

Lubang hitam. Samudera Atlantik. Burung Merak. Roti panggang keju. Kue jahe. Pulau Kalimantan. Milky way. Asin. Skripsi. Mars. Rumah. Tulisan. Tanda tanya. Rumah baca. Buku biografi. Kawah Ijen. Kentang keju. Puding coklat. Hujan meteor. Anak jalanan. Seragam sekolah. Matahari terbit. Petir. Cinta. Padang rumput dan domba. Balon gas. Pasir pantai. Laptop. Penggaris bening. Tas rajut. Mobil 4WD. Sendal gunung. Risotto. Langit biru. Pipi merah jambu. Ikan remora. Kolam ikan. Rambut belah tengah. Bedug masjid. Google. Akad nikah. Alam semesta. Rumah singgah. Menara Eiffel. ........................... Kamu.

Malang, 16 September 2013
Selepas Tengah Malam.


Read More...

Jumat, 13 September 2013

Puisi: Tera Errau

Leave a Comment
Ini adalah puisi surayah Pidi Baiq. Pengen posting aja sih... dalem soalnya :)
Ga tau kenapa di part Nyala Api dan Perasaan ga ada nomor 2nya...
tapi, enjoy it ajalah! 

1
NYALA API
1. Buku ini adalah yang muncul dari dalam diriku untuk mengatakan tentang perasaanku kepadamu.
3. Perasaan halus dan bebas mengalir semenjak saat bertemu.
4. Menghisapku ke dalam pusaran waktu yang begitu manis.
5. Dan, aku tulis ini karena demikianlah menurut suara yang ada di dalam diriku.
6. Berbicara tentang dan hal-hal yang tertuang di antara aku dengan dirimu.
7. Mengenai diriku yang telah jatuh ke dalam semua pesonamu.
8. Dan tidak dapat dipertahankan lagi sampai waktu selanjutnya.
9. Nyala api cinta yang tumbuh besar ini, makin lama menjadi lebih kuat, lebih lama, lebih tinggi.

2
PERASAAN
1. Aku berikan ini kepadamu bahwa aku lebih suka berhubungan dengan mu, jika harus mencari kehidupan yang berbasis perasaan.
3. Karena dirimu adalah yang bergabung dengan pikiranku. Dengan ruang kosong yang aku sediakan sejak pagi.
4. Dan kuperpanjang waktunya hingga malam, sebagai rindu.
5. Mengatakan semuanya dalam gelombang kekuasaan perasaan.
6. Dan itu semua adalah karena kau. Tidak perlu jenius untuk mengetahui keindahanmu.
7. Orang yang menyenangkan bagiku, tidak aku ragukan lagi, adalah orang yang sepertimu.
8. Aku terlibat dengan urusan yang penting ini. 
9. Aku ingin punya tempat khusus bahkan hanya untuk sehelai rambutmu.
10. Dan sekarang, jika aku telah mengatakan semuanya, lakukanlah untuk mendukungnya seolah-olah ini sebuah puisi untukmu.

3
TERA ERRAU
1 Dia adalah dirimu, nama tentang perasaan purba, cinta dan kasih sayang.
2 Tanpa dirimu, kehidupan macam apa yang akan membuatku betah tinggal di bumi?
3. Bahkan jika semua tempat di bumi ini bagus, kukira masih perlu ada dirimu, untuk memberi penyegaran.
4. Mengapa, tuhan menurunkan kamu ke bumi, aku tahu sekarang, agar aku bisa merasakan jatuh cinta.
5 Atau engkau adalah hadiah buat aku di bumi, jika aku tidak bisa mendapatkan bidadari di sorga.
6. Aku mencintaimu, ini adalah urusanku, bagaimana engkau kepadaku, terserah, itu adalah urusanmu.

 (BERSAMBUNG)
  

Read More...

Dream

Leave a Comment
Kawan, saya punya pertanyaan.
Seseorang yang tak  saya kenal pernah menuliskan dalam bukunya, "Dream doesn't have an expiration date. Take a deep breath and try again."
Jadi, apakah orang yang merasa mimpinya sudah tidak relevan dengan usaha dan doanya lalu sekonyong-konyong (meminjam istilah mbak Adenita di buku 23 Episentrum) mengebiri mimpi atau (bahasa halusnya) merevisi mimpinya sendiri adalah seorang pecundang?

Apa alasanmu?


Read More...

Tere Liye

Leave a Comment
Kalian tau Tere Liye? itu lho penulis novel bestseller asli Palembang, Indonesia...
Yang nulis Serial Anak-Anak Emak, Bidadari-Bidadari Surga, Moga Bunda Disayang Allah, sampai yang terbaru Negeri di Ujung Tanduk? 

Saya salah satu fans setia tulisan dan kalimat bang Tere. Sejak membaca Serial Anak-Anak Emak, Burlian tahun 2010, saya sudah jatuh cinta dengan bagaimana kelihaian bang Tere menggubah huruf dan karakter menjadi karya. 


Sebuah alasan kenapa saya selalu menunggu tulisan bang Tere adalah karena selalu ada pesan yang tersurat setiap bang Tere menulis. Pesan religi, moral, akhlak, dan sebagainya. Segala pesan yang baik dan membaikkan. Jangan galau, jangan pacaran, jangan merokok, jangan abai terhadap orangtua, belajar yang rajin, and more.
Di novel-novelnya pun tak ada ceritanya si Fulan berpacaran dengan Fulanah, yang ada hanya si A mencintai si B, karena cinta itu kan emang fitrah, dan pasti dirasakan oleh setiap manusia. Tinggal bagaimana kita menyikapi perasaan tersebut, menghinakan atau memuliakan.
Pokoknya saya percaya bang Tere sudah mempunyai pemahaman yang baik terhadap hidup. Dan selidik punya selidik, bang Tere pernah mengaku pemahaman itu didapatnya karena belajar dari berbagai perjalanan menyusuri berbagai negara di Asia secara backpack beberapa belas tahun yang lalu. Nah, traveller pula inih!

Pun, saya pernah 2 kali mengikuti pelatihan menulis dan talkshow bersama bang Tere Liye. Sebelumnya jika membayangkan dari gaya menulis dan penyampaiannya, saya berprasangka bang Tere ini orangnya rapi, berkemeja, bersepatu pantovel, dan rapi menyisir rambutnya, tapi begitu melihat bang Tere langsung, aaah... hilang sudah semua bayangan tadi.
Bang Tere bener-bener lowprofile, zuhud lah kalo saya boleh bilang. Berkaos, celana panjang jeans, kupluk abu-abu di kepala, dan bersendal jepit swallow.

Salah satu penjabaran yang saya sukai tentang aturan dalam talkshow atau seminar kepenulisan beliau adalah tidak bakal ada sesi foto bareng peserta, alasannya? Baca ini yah..
Akan saya jelaskan beberapa kesalah-pahaman:

1. Tanda tangan
Dalam setiap acara, saya selalu mewajibkan jika ingin request tanda-tangan harus di buku2 tere liye. Saya tahu, ada di antara orang-orang yg tidak menerima peraturan ini, bilang hanya orang punya uanglah yang bisa beli buku-buku tersebut, saya diskriminatif, lantas menilai macam-macam, bahkan menulis di jejaring sosial penuh prasangka.

Padahal alasannya simpel sekali: saya pernah datang ke sebuah sekolah, bayangkan saat semua murid bisa minta tanda tangan di kertas apapun, maka satu orang bisa membawa 10 lembar kertas minta tanda tangan untuk temannya A, kakaknya B, tetangganya C, dan sebagainya sampai J. Satu orang bisa begitu, maka peserta yang lain maksa begitu pula. Saya jadinya bisa menandatangani 1.000 lebih request tandatangan di buku tulis, kertas HVS, kertas robekan, dan sebagainya  Jika 1 tanda tangan itu membutuhkan 10 detik, maka saya butuh 10.000 detik, hitung saja sendiri berapa jam yang harus saya habiskan untuk menandatangani kertas-kertas tersebut. Lebih lama tanda tangannya dibandingkan sesi materinya. Peraturan itu bertujuan mengurangi dengan sangat signifikan request tandatangan.

Padahal apa sih artinya tanda tangan? Akan membawa kemuliaan? Menambah derajat? Pengetahuan? Tidak sama sekali. Kalau kalian tidak punya buku, dan tetap maksa minta tanda tangan  mudah. Temui saya di detik terakhir sebelum saya meninggalkan lokasi acara, saya bisa membuat pengecualian yang tidak mengundang protes peserta lain.

2. Foto bareng
Apakah saya itu tidak mau di foto bareng? Mau. Saya ini narsis sekali. Itu natur. Tapi saat saya tidak bersedia di foto bareng peserta dalam acara, lagi-lagi bukan karena saya sombong, tidak adil, sok, dan sebagainya.
Alasannya simpel: ikhtilat
Bayangkan ketika orang-orang merangsek ingin foto bareng, maka batas, jarak, bahkan prinsip yang baik bisa dikesampingkan demi foto bareng tersebut. Berebut. Dorong-dorongan. Jikapun tidak berebut, ketika foto, kita tetap saja berdekatan satu sama lain, nempel. Dan ini kadang tidak ada habis-habisnya. Satu orang bisa minta tiga kali pose, dengan gaya berbeda.
Padahal, lagi-lagi, buat apa sih foto bareng tere liye? Mending kalian foto bareng teman-teman baik, atau teman-teman peserta, biar saya yang motoin, pegang kameranya sini. Kan seru cerita ke teman, eh tadi saya ketemu bang tere di acara, dia motoin kami loh.

3. Request Interview
Di buku-buku saya tidak ada biodata, CV penulisnya. Pun menggunakan nama pena saja. Ada alasan baik kenapa saya melakukan hal tersebut. Alasan yang sama baiknya ketika penulis lain sebaliknya meletakkan biodata, dll. Profile saya pun tidak muncul di media massa. Terlepas dari memang tidak ada media massa yang mau pula meliput, wawancara, dan sebagainya,  saya melakukan hal ini karena alasan yang lagi-lagi baik. Seharusnya kalian bisa memahaminya bahkan tanpa perlu tahu alasannya. Karena jelas, semua orang punya batas privacy, alasan personal. Tidak perlu memaksakan diri, tidak perlu bilang saya sombong, pedit, kikir, bakhil.
Jadi ketika saya menolak request interview, wawancara, untuk keperluan apapun, tidak ada hubungannya dengan diskriminatif, keadilan sosial, kesejahteraan dunia, apalagi apresiasi dan kemakmuran ekonomi umat. Itu simply saya sedang terus berdisiplin menggigit pemahaman saya.
Kurang lebih begitu penjelasannya.
Keren sumpah!



Read More...

Selasa, 10 September 2013

my Adventures Book

Leave a Comment
I'm working on my own book project. This is what I called "fun". Making something and being happy with it. Well, I got an idea for this book after watch UP, with a super cute little boyscout, Russel and an old man called Mr. Fredickson. And here I am, collecting my memories about my fams, my friends, my besties, and all of my journeys in a book. 

as a visual-kinesthetic person, I love to show the memories in a picture form. It's like a photo album, well.. 

Maybe I'll keep some pages for my future. I wanna fill this book not only about me, but us   


my homemates's part



I wrote dua Rabithah for tie our hearts up

my bad habits, bring sands from every beach I visited

I wrote friends name there, is it you?





It still has a lot of blank pages, would you like to help me to fill it?   


Read More...

Sabtu, 07 September 2013

an Amazing Housewife

Leave a Comment
Beberapa waktu lalu di akun sosmed saya sempat men-share sebuah diskusi tentang seorang ibu home schooler yang luar biasa, Ibu Septi Peni Wulandani. Dan kemarin, saya ditujukan lagi sebuah link yang merujuk ke kisah hidup beliau dalam mendidik ketiga buah hatinya. Ini dia: 
Namanya Ibu Septi Peni Wulandani. Kalau kalian search nama ini di google, kalian akan tahu bahwa Ibu ini dikenal sebagai Kartini masa kini. Bukan, dia bukan seorang pejuang emansipasi wanita yang mengejar kesetaraan gender lalala itu. Bukan.
Beliau seorang ibu rumah tangga profesional, penemu model hitung jaritmatika, juga seorang wanita yang amat peduli pada nasib ibu-ibu di Indonesia. Seorang wanita yang ingin mengajak wanita Indonesia kembali ke fitrahnya sebagai wanita seutuhnya. Dalam sesi itu, beliau bercerita kiprahnya sebagai ibu rumah tangga yang mendidik tiga anaknya dengan cara yang bahasa kerennya anti mainstream. It’s like I’m watching 3 Idiots. But this is not a film. This is a real story from Salatiga, Indonesia.
Semuanya berawal saat beliau memutuskan untuk menikah. Jika ada pepatah yang mengatakan bahwa pernikahan adalah peristiwa peradaban, untuk kisah Ibu Septi, pepatah itu tepat sekali. Di usianya yang masih 20 tahun, Ibu Septi sudah lulus dan mendapat SK sebagai PNS. Di saat yang bersamaan, beliau dilamar oleh seseorang. Beliau memilih untuk menikah, menerima lamaran tersebut. Namun sang calon suami mengajukan persyaratan: beliau ingin yang mendidik anak-anaknya kelak hanyalah ibu kandungnya. Artinya? Beliau ingin istrinya menjadi seorang ibu rumah tangga. Harapan untuk menjadi PNS itu pun pupus. Beliau tidak mengambilnya. Ibu Septi memilih menjadi ibu rumah tangga. Baru sampai cerita ini saja saya sudah gemeteran.
Akhirnya beliaupun menikah. Pernikahan yang unik. Sepasang suami istri ini sepakat untuk menutup semua gelar yang mereka dapat ketika kuliah. Aksi ini sempat diprotes oleh orang tua, bahkan di undangan pernikahan mereka pun tidak ada tambahan titel/ gelar di sebelah nama mereka. Keduanya sepakat bahwa setelah menikah mereka akan memulai kuliah di universitas kehidupan. Mereka akan belajar dari mana saja. Pasangan ini bahkan sering ikut berbagai kuliah umum di berbagai kampus untuk mencari ilmu. Gelar yang mereka kejar adalah gelar almarhum dan almarhumah. Subhanallah. Tentu saja tujuan mereka adalah khusnul khatimah. Sampai di sini, sudah kebayang kan bahwa pasangan ini akan mencipta keluarga yang keren?
Ya, keluarga ini makin keren ketika sudah ada anak-anak hadir melengkapi kehidupan keluarga. Dalam mendidik anak, Ibu Septi menceritakan salah satu prinsip dalam parenting adalah merdekakan apa keinginan anak-anak. Begitupun untuk urusan sekolah. Orang tua sebaiknya memberikan alternatif terbaik lalu biarkan anak yang memilih. Ibu Septi memberikan beberapa pilihan sekolah untuk anaknya: mau sekolah favorit A? Sekolah alam? Sekolah bla bla bla. Atau tidak sekolah? Dan wow, anak-anaknya memilih untuk tidak sekolah. Tidak sekolah bukan berarti tidak mencari ilmu kan? Ibu Septi dan keluarga punya prinsip: Selama Allah dan Rasul tidak marah, berarti boleh. Yang diperintahkan Allah dan Rasul adalah agar manusia mencari ilmu. Mencari ilmu tidak melulu melalui sekolah kan? Uniknya, setiap anak harus punya project yang harus dijalani sejak usia 9 tahun. Dan hasilnya?
Enes, anak pertama. Ia begitu peduli terhadap lingkungan, punya banyak project peduli lingkungan, memperoleh penghargaan dari Ashoka, masuk koran berkali-kali. Saat ini usianya 17 tahun dan sedang menyelesaikan studi S1nya di Singapura. Ia kuliah setelah SMP, tanpa ijazah. Modal presentasi. Ia kuliah dengan biaya sendiri bermodal menjadi seorang financial analyst. Bla bla bla banyak lagi. Keren banget. Saat kuliah di tahun pertama ia sempat minta dibiayai orang tua, namun ia berjanji akan menggantinya dengan sebuah perusahaan. Subhanallah. Uang dari orang tuanya tidak ia gunakan, ia memilih menjual makanan door to door sambil mengajar anak-anak untuk membiayai kuliahnya.
Ara, anak ke-2. Ia sangat suka minum susu dan tidak bisa hidup tanpa susu. Karena itu, ia kemudian berternak sapi. Pada usianya yang masih 10 tahun, Ara sudah menjadi pebisnis sapi yang mengelola lebih dari 5000 sapi. Bisnisnya ini konon turut membangun suatu desa. WOW! Sepuluh tahun gue masih ngapain? Dan setelah kemarin kepo, Ara ternyata saat ini juga tengah kuliah di Singapura menyusul sang kakak.
Elan, si bungsu pecinta robot. Usianya masih amat belia. Ia menciptakan robot dari sampah. Ia percaya bahwa anak-anak Indonesia sebenarnya bisa membuat robotnya sendiri dan bisa menjadi kreatif. Saat ini, ia tengah mencari investor dan terus berkampanye untuk inovasi robotnya yang terbuat dari sampah. Keren!
Saya cuma menunduk dan nangis, what I’ve done until my 22?
Beberapa rahasia kecil yang dimiliki keluarga ini, yaitu:
1. Anak-anak adalah jiwa yang merdeka, bersikap demokratis kepada mereka adalah suatu keniscayaan
2. Anak-anak sudah diajarkan tanggung jawab dan praktek nyata sejak kecil melalui project. Seperti yang saya bilang tadi, di usia 9 tahun, anak-anak Ibu Septi sudah diwajibkan untuk punya project yang wajib dilaksanakan. Mereka wajib presentasi kepada orang tua setiap minggu tentang project tersebut.
3. Meja makan adalah sarana untuk diskusi. Di sana mereka akan membicarakan tentang ‘kami’, tentang mereka saja, seperti sudah sukses apa? Mau sukses apa? Kesalahan apa yang dilakukan? Oh ya, keluarga ini juga punya prinsip, “kita boleh salah, yang tidak boleh itu adalah tidak belajar dari kesalahan tersebut”. Bahkan mereka punya waktu untuk merayakan kesalahan yang disebut dengan “false celebration”.
4. Rasulullah SAW sebagai role model. Kisah-kisah Rasul diulas. Pada usia sekian Rasul sudah bisa begini, maka di usia sekian berarti kita juga harus begitu. Karena alasan ini pula Enes memutuskan untuk kuliah di Singapura, ia ingin hijrah seperti yang dicontohkan Rasulullah. Ia ingin pergi ke suatu tempat di mana ia tidak dikenal sebagai anak dari orang tuanya yang memang sudah terkenal hebat.
5. Mempunyai vision board dan vision talk. Mereka punya gulungan mimpi yang dibawa ke mana-mana. Dalam setiap kesempatan bertemu dengan orang-orang hebat, mereka akan share mimpi-mimpi mereka. Prinsip mimpi: Dream it, share it, do it, grow it!
6. Selalu ditanamkan bahwa belajar itu untuk mencari ilmu, bukan untuk mencari nilai
7. Mereka punya prinsip harus jadi entrepreneur. Bahkan sang ayah pun keluar dari pekerjaannya di suatu bank dan membangun berbagai bisnis bersama keluarga. Apa yang ia dapat selama bekerja ia terapkan di bisnisnya.
8. Punya cara belajar yang unik. Selain belajar dengan cara home schooling di mana Ibu sebagai pendidik, belajar dari buku dan berbagai sumber, keluarga ini punya cara belajar yang disebut Nyantrik. Nyantrik adalah proses belajar hebat dengan orang hebat. Anak-anak akan datang ke perusahaan besar dan mengajukan diri menjadi karyawan magang. Jangan tanya magang jadi apa ya, mereka magang jadi apa aja. Ngepel, membersihkan kamar mandi, apapun. Mereka pun tidak meminta gaji. Yang penting, mereka diberi waktu 15 menit untuk berdiskusi dengan pemimpin perusahaan atau seorang yang ahli setiap hari selama magang.
9. Hal terpenting yang harus dibangun oleh sebuah keluarga adalah kesamaan visi antara suami dan istri. That’s why milih jodoh itu harus teliti. Hehe. Satu cinta belum tentu satu visi, tapi satu visi pasti satu cinta 
10. Punya kurikulum yang keren, di mana fondasinya adalah iman, akhlak, adab, dan bicara.
11. Di-handle oleh ibu kandung sebagai pendidik utama. Ibu bertindak sebagai ibu, partner, teman, guru, semuanya.
Photo: Kisah Inpiratif Seorang "Professional House Wife", mencengangkan


Namanya Ibu Septi Peni Wulandani. Kalau kalian search nama ini di google, kalian akan tahu bahwa Ibu ini dikenal sebagai Kartini masa kini. Bukan, dia bukan seorang pejuang emansipasi wanita yang mengejar kesetaraan gender lalala itu. Bukan.

 

Beliau seorang ibu rumah tangga profesional, penemu model hitung jaritmatika, juga seorang wanita yang amat peduli pada nasib ibu-ibu di Indonesia. Seorang wanita yang ingin mengajak wanita Indonesia kembali ke fitrahnya sebagai wanita seutuhnya. Dalam sesi itu, beliau bercerita kiprahnya sebagai ibu rumah tangga yang mendidik tiga anaknya dengan cara yang bahasa kerennya anti mainstream. It’s like I’m watching 3 Idiots. But this is not a film. This is a real story from Salatiga, Indonesia.
Semuanya berawal saat beliau memutuskan untuk menikah. Jika ada pepatah yang mengatakan bahwa pernikahan adalah peristiwa peradaban, untuk kisah Ibu Septi, pepatah itu tepat sekali. Di usianya yang masih 20 tahun, Ibu Septi sudah lulus dan mendapat SK sebagai PNS. Di saat yang bersamaan, beliau dilamar oleh seseorang. Beliau memilih untuk menikah, menerima lamaran tersebut. Namun sang calon suami mengajukan persyaratan: beliau ingin yang mendidik anak-anaknya kelak hanyalah ibu kandungnya. Artinya? Beliau ingin istrinya menjadi seorang ibu rumah tangga. Harapan untuk menjadi PNS itu pun pupus. Beliau tidak mengambilnya. Ibu Septi memilih menjadi ibu rumah tangga. Baru sampai cerita ini saja saya sudah gemeteran.

Akhirnya beliaupun menikah. Pernikahan yang unik. Sepasang suami istri ini sepakat untuk menutup semua gelar yang mereka dapat ketika kuliah. Aksi ini sempat diprotes oleh orang tua, bahkan di undangan pernikahan mereka pun tidak ada tambahan titel/ gelar di sebelah nama mereka. Keduanya sepakat bahwa setelah menikah mereka akan memulai kuliah di universitas kehidupan. Mereka akan belajar dari mana saja. Pasangan ini bahkan sering ikut berbagai kuliah umum di berbagai kampus untuk mencari ilmu. Gelar yang mereka kejar adalah gelar almarhum dan almarhumah. Subhanallah. Tentu saja tujuan mereka adalah khusnul khatimah. Sampai di sini, sudah kebayang kan bahwa pasangan ini akan mencipta keluarga yang keren?

Ya, keluarga ini makin keren ketika sudah ada anak-anak hadir melengkapi kehidupan keluarga. Dalam mendidik anak, Ibu Septi menceritakan salah satu prinsip dalam parenting adalah merdekakan apa keinginan anak-anak. Begitupun untuk urusan sekolah. Orang tua sebaiknya memberikan alternatif terbaik lalu biarkan anak yang memilih. Ibu Septi memberikan beberapa pilihan sekolah untuk anaknya: mau sekolah favorit A? Sekolah alam? Sekolah bla bla bla. Atau tidak sekolah? Dan wow, anak-anaknya memilih untuk tidak sekolah. Tidak sekolah bukan berarti tidak mencari ilmu kan? Ibu Septi dan keluarga punya prinsip: Selama Allah dan Rasul tidak marah, berarti boleh. Yang diperintahkan Allah dan Rasul adalah agar manusia mencari ilmu. Mencari ilmu tidak melulu melalui sekolah kan? Uniknya, setiap anak harus punya project yang harus dijalani sejak usia 9 tahun. Dan hasilnya?

Enes, anak pertama. Ia begitu peduli terhadap lingkungan, punya banyak project peduli lingkungan, memperoleh penghargaan dari Ashoka, masuk koran berkali-kali. Saat ini usianya 17 tahun dan sedang menyelesaikan studi S1nya di Singapura. Ia kuliah setelah SMP, tanpa ijazah. Modal presentasi. Ia kuliah dengan biaya sendiri bermodal menjadi seorang financial analyst. Bla bla bla banyak lagi. Keren banget. Saat kuliah di tahun pertama ia sempat minta dibiayai orang tua, namun ia berjanji akan menggantinya dengan sebuah perusahaan. Subhanallah. Uang dari orang tuanya tidak ia gunakan, ia memilih menjual makanan door to door sambil mengajar anak-anak untuk membiayai kuliahnya.
Ara, anak ke-2. Ia sangat suka minum susu dan tidak bisa hidup tanpa susu. Karena itu, ia kemudian berternak sapi. Pada usianya yang masih 10 tahun, Ara sudah menjadi pebisnis sapi yang mengelola lebih dari 5000 sapi. Bisnisnya ini konon turut membangun suatu desa. WOW! Sepuluh tahun gue masih ngapain? Dan setelah kemarin kepo, Ara ternyata saat ini juga tengah kuliah di Singapura menyusul sang kakak.

Elan, si bungsu pecinta robot. Usianya masih amat belia. Ia menciptakan robot dari sampah. Ia percaya bahwa anak-anak Indonesia sebenarnya bisa membuat robotnya sendiri dan bisa menjadi kreatif. Saat ini, ia tengah mencari investor dan terus berkampanye untuk inovasi robotnya yang terbuat dari sampah. Keren!
Saya cuma menunduk, what I’ve done until my 20? :0 Banyak juga peserta yang lalu bertanya, “kenapa cuma 3, Bu?” hehe.

Dari cerita Ibu Septi sore itu, saya menyimpulkan beberapa rahasia kecil yang dimiliki keluarga ini, yaitu:

1. Anak-anak adalah jiwa yang merdeka, bersikap demokratis kepada mereka adalah suatu keniscayaan

2. Anak-anak sudah diajarkan tanggung jawab dan praktek nyata sejak kecil melalui project. Seperti yang saya bilang tadi, di usia 9 tahun, anak-anak Ibu Septi sudah diwajibkan untuk punya project yang wajib dilaksanakan. Mereka wajib presentasi kepada orang tua setiap minggu tentang project tersebut.

3. Meja makan adalah sarana untuk diskusi. Di sana mereka akan membicarakan tentang ‘kami’, tentang mereka saja, seperti sudah sukses apa? Mau sukses apa? Kesalahan apa yang dilakukan? Oh ya, keluarga ini juga punya prinsip, “kita boleh salah, yang tidak boleh itu adalah tidak belajar dari kesalahan tersebut”. Bahkan mereka punya waktu untuk merayakan kesalahan yang disebut dengan “false celebration”.

4. Rasulullah SAW sebagai role model. Kisah-kisah Rasul diulas. Pada usia sekian Rasul sudah bisa begini, maka di usia sekian berarti kita juga harus begitu. Karena alasan ini pula Enes memutuskan untuk kuliah di Singapura, ia ingin hijrah seperti yang dicontohkan Rasulullah. Ia ingin pergi ke suatu tempat di mana ia tidak dikenal sebagai anak dari orang tuanya yang memang sudah terkenal hebat.

5. Mempunyai vision board dan vision talk. Mereka punya gulungan mimpi yang dibawa ke mana-mana. Dalam setiap kesempatan bertemu dengan orang-orang hebat, mereka akan share mimpi-mimpi mereka. Prinsip mimpi: Dream it, share it, do it, grow it!

6. Selalu ditanamkan bahwa belajar itu untuk mencari ilmu, bukan untuk mencari nilai

7. Mereka punya prinsip harus jadi entrepreneur. Bahkan sang ayah pun keluar dari pekerjaannya di suatu bank dan membangun berbagai bisnis bersama keluarga. Apa yang ia dapat selama bekerja ia terapkan di bisnisnya.

8. Punya cara belajar yang unik. Selain belajar dengan cara home schooling di mana Ibu sebagai pendidik, belajar dari buku dan berbagai sumber, keluarga ini punya cara belajar yang disebut Nyantrik. Nyantrik adalah proses belajar hebat dengan orang hebat. Anak-anak akan datang ke perusahaan besar dan mengajukan diri menjadi karyawan magang. Jangan tanya magang jadi apa ya, mereka magang jadi apa aja. Ngepel, membersihkan kamar mandi, apapun. Mereka pun tidak meminta gaji. Yang penting, mereka diberi waktu 15 menit untuk berdiskusi dengan pemimpin perusahaan atau seorang yang ahli setiap hari selama magang.

9. Hal terpenting yang harus dibangun oleh sebuah keluarga adalah kesamaan visi antara suami dan istri. That’s why milih jodoh itu harus teliti. Hehe. Satu cinta belum tentu satu visi, tapi satu visi pasti satu cinta :P

10. Punya kurikulum yang keren, di mana fondasinya adalah iman, akhlak, adab, dan bicara.

11. Di-handle oleh ibu kandung sebagai pendidik utama. Ibu bertindak sebagai ibu, partner, teman, guru, semuanya.

Daaaan masih banyak lagi. Teman-teman yang tertarik bisa kepo twitter ibu @septipw atau gabung dan ikut kuliah online tentang keiburumahtanggaan di ibuprofesional.com.

Hhhhmmm. Gimana? Profesi ibu rumah tangga itu profesi yang keren banget bukan? Ia adalah kunci awal terbentuknya generasi brilian bangsa. Saya ingat cerita Ibu Septi di awal kondisi beliau menjadi ibu rumah tangga. Saat itu beliau iri melihat wanita sebayanya yang berpakaian rapi pergi ke kantor sedangkan beliau hanya mengenakan daster. Jadilah beliau mengubah style-nya. Jadi Ibu rumah tangga itu keren, jadi tampilannya juga harus keren, bahkan punya kartu nama dengan profesi paling mulia: housewife. So, masih zaman berpikiran bahwa ibu rumah tangga itu sebatas sumur, kasur, lalala yang haknya terinjak-injak dan melanggar HAM? Duh please,  housewife is the most presticious  career for a woman, right? Tapi semuanya tetap pilihan. Dan setiap pilihan punya konsekuensi :) Jadi apapun kita, semoga tetap menjadi pendidik hebat untuk anak-anak generasi bangsa.

Setelah mengikuti sesi tersebut, saya menarik kesimpulan bahwa seminar kepemudaan tidak melulu bahas tentang organisasi, isu-isu negara, dan lain-lain yang biasa dibahas. Pemuda juga perlu belajar ilmu parenting untuk bekal dalam mendidik generasi penerus bangsa ini. Bukankah dari keluarga karakter anak itu terbentuk?

Wallahualambisshawab. Semoga ada yang bisa diambil pelajaran. (http://dakwahmedia.com)

===============================

Like untuk berlangganan TIpsmenarik seputar pendidikan 

FP : https://www.facebook.com/TipsPendidikanAnak
 (cerita dan gambar dari sini

Well, gimana?  Housewife itu profesi yang keren banget kan? Ia adalah kunci awal terbentuknya generasi brilian bangsa. So, masih zaman berpikiran bahwa ibu rumah tangga itu sebatas sumur, kasur, lalala yang haknya terinjak-injak dan melanggar HAM? Duh please, housewife is the most presticious career for a woman, right? Tapi semuanya tetap pilihan. Dan setiap pilihan punya konsekuensi  Jadi apapun kita, semoga tetap menjadi pendidik hebat untuk anak-anak generasi bangsa.
Video diskusi Membangun Mimpi Bersama Keluarga, lihat disini.


Read More...

Selasa, 03 September 2013

Semester Akhir

Leave a Comment

Bismillahirrahmanirrahim.... 

Ketika ditanya kabar dan kegiatan saya sekarang ini, maka dengan gagah saya akan menjawab: Alhamdulillah kabar saya baik, saya masih berstatus mahasiswi, masih aktif liqo', masih ngisi mentoring dan keputrian, masih ngelesin Zita dan Tyas, dan baru-baru ini ikut terjun dalam project Solidaritas Peduli Jilbab untuk regional Malang. My life is fun and so well :)" 

Lalu biasanya pertanyaan akan beralih ke 'semester berapa?' atau 'gimana kabar skripsi?' maka biasanya saya akan nyengir dan bilang, "sudah saya jawab dalam hati." ahahaa... 

Ok, saya sudah maju dan mempresentasikan proposal usulan tema tugas akhir saya Maret 2013 kemarin. Secara logika, cukuplah satu semester untuk menyelesaikan tugas akhir jika benar-benar fokus, sabar menunggu dan rajin berguru pada dosen pembimbing. Tapi, diluar dugaan saya kemudian memutuskan untuk menunda program tugas akhir saya dengan beberapa alasan yang tidak bisa saya sebarluaskan. Beberapa teman dan seorang petugas pembersih masjid kampus  yang sering saya sapa bahkan mengira saya sudah lulus dan mengikuti wisuda Mei kemarin. 

Tidak ada masalah. Kuliah saya lancar. Nilai alhamdulillah mencukupi dan cukup memuaskan. Tidak ada kasus akadamik, dan semua kegiatan komunitas non akademik selain yang saya sebutkan di atas seperti MY LiFE dan KOLAM walau jarang tetap saya silaturrahimi. Benar-benar tidak ada problem sebenarnya, tapi entah waktu itu apa yang terlintas hingga saya memutuskan memperlama masa kuliah saya di kampus dan tetap stay di Malang. Aneh bagi sebagian orang lain memang, tapi well, selalu ada reason di balik action kan?

Kini di semester 9, sedikit demi sedikit saya mulai memahami mengapa saat itu saya terilhami untuk tidak buru-buru melepas status mahasiswi. Sedikitnya karena saya memang enggan melepas privilege sebagai mahasiswi, tapi ada alasan yang jauh lebih besar dari itu. 

Saya banyak belajar kemudian. Saya diberi amanah baru. Saya bertemu partner yang awesome dan asik, saya ditulari kebiasaan baik oleh orang-orang yang tiba-tiba dekat dengan saya. Saya bertemu penulis keren, dan saya banyak dimintai nasihat oleh adik-adik yang baru saja saya temui. Saya jadi banyak membicarakan hal-hal yang belum pernah saya bicarakan secara gamblang kepada orang lain. Dan saya rasa semua itu patut saya syukuri.

Semua berjalan lancar. Saya hanya merasa saya butuh sedikit lebih lama waktu di Malang, dan hal itu lebih alami jika saya masih berperilaku selayaknya mahasiswi. 

Tapi, bukan berarti saya abai dengan tanggungjawab dan kewajiban saya. Saya pun sudah menargetkan kapan saya harus maju sidang dan menyelesaikan apa yang telah saya mulai. Saya ingin hidup, dengan sebenar-benarnya arti. Merasakan telat lulus sebentar, bagaimana kampus mulai sepi dan teman-teman mulai pergi. Bagaimana segelintir yang tersisa ini memperjuangkan nasib untuk keluar dari kampus dengan predikat sarjana, bukan di-DO. Saya menikmati proses belajar ini.
Bukan hanya untuk memenuhi rasa kepo ingin tahu orang yang iseng nanya: kapan seminar?, kapan kompre?, kapan ujian skripsi?, kapan lulus?, kapan mulai kerja?, kapan nikah?, kapan dapet momongan?, kapan mat...? oh ok... just shut up.

Dan salah satu hal yang harus saya luruskan sekarang adalah meminta maaf dan memberi pengertian kepada kedua orangtua saya, walau mereka bertanya-tanya ada apa. 

"Semester sembilan ini akan menjadi periode dan fase penting dalam hidup, saya akan menjadikan waktu beberapa bulan kedepan untuk belajar dan memahami lebih banyak hal. Bagi saya, inilah kuliah yang sebenarnya. Bukan semata-mata habis waktu di dalam ruang kelas, tapi benar-benar kuliah kehidupan yang sangat ingin saya dapatkan. Saya ingin menjadi orang yang bijaksana dan untuk berjalan ke sana, banyak hal yang harus saya pahami dalam hidup.

Setiap orang punya target masing-masing dan tidak ada yang salah dengan target lulus cepat. Tapi sekali lagi, lulus cepat bukan menjadi target saya :)
Setiap keputusan akan menimbulkan tanggungjawab. Maka, bertanggungjawablah pada setiap hal yang menjadi keputusan teman-teman."

(terinspirasi dan mengambil kutipan mas Kurniawan Gunadi di sini


Read More...