Senin, 24 Juni 2013

Sistem

Leave a Comment
Saya khawatir kalau saya ini termasuk tipe-tipe orang yang merusak tatanan semesta.
Sejak beberapa tahun lalu saya percaya bahwa kehidupan ini tersusun atas sistem-sistem, dari cakupan yang paling mikro sampai yang paling makro. Dari yang sepele seperti bagaimana mencegat angkot sampai yang rumit bagaimana negara ini tetap berjalan. Saya sadar jika salah satu sistem terganggu, maka secara efek domino akan merembet ke sistem-sistem yang lain... one system broken, and the other gone. 

Saya khawatir saya secara sadar dan tidak sadar telah mengganggu lintasan dan sistem yang telah berlaku di semesta ini. Mungkin saja akan... saat orang lain mau ga mau harus nurut sama peraturan tata berpakaian di institusinya, saya berontak. Tidak mau. Bisa saja kan? Saat orang lain seenak jidatnya melempar sampah ke sungai, saya merengut tidak suka dan tidak mau mengikuti. Eh, tunggu... ini sistem seperti apa? Salah, salah.... sori, yang 2 tadi bukan sistem yang benar. Contoh nih: si A yang mau naik/turun memberhentikan angkot di mulut gang, bikin kendaraan yang sama-sama mau belok kesulitan lewat dan akhirnya terjadilah macet panjang. Karena macet panjang, si B jadi terlambat masuk kantor, jadilah dia dipotong gajinya oleh si Bos. Dengan gaji yang tinggal sedikit, B jadi ga bisa bayar kontrakan dan beli susu buat anaknya, jadilah dia memutuskan untuk nyuri sepeda motor tetangganya. 

Ok, mungkin contoh tadi agak lebay. tapi toh yang seperti itu fakta lho, dan menurut kamu berapa sistem yang rusak dalam kejadian di atas? Sehitungan saya sih 5.

Saya ga mau bikin kesimpulan apa-apa, biar saja menggantung seperti nangka matang di pohon, toh.. kalian sudah cukup pintar untuk menarik kesimpulan sendiri. Saran saya sih cuma: kita selalu hidup dalam sistem. Kalo ga bisa bikin sistem yang lebih baik, jangan mengusiknya.. ikuti saja, atau keluar.


 n.b:
Sistem yang saya maksud disini bukan berarti 'kebiasaan' loh ya... sistem yang saya maksud adalah bagaimana seharusnya sesuatu berjalan.


Read More...

Selasa, 18 Juni 2013

ini hanya fiksi (9)

Leave a Comment
Pernikahan Impian


Sehangat pelukan hujan saat kau lambaikan tangan, tenang wajahmu berbisik, ini lah waktu yang tepat untuk berpisah...
(SO7 - Waktu yang Tepat Untuk Berpisah)


13 Mei 2011

Sore ini cerah. Langit biru dan angin semilir berhembus. Aku duduk di bangku taman bersama seorang teman diskusi, Rian. Aku makan tahu crispy dan dia baca koran sore. Ada burung merpati yang hinggap di depan kami, aku melemparkan remah-remah terakhir tahu crispyku. Lalu entah bagaimana aku mulai bercerita teman pada yang duduk disampingku bagaimana pernikahan impianku nanti akan digelar. Mencoret-coret bungkus tahu crispy yang sekarang sudah jadi denah ruang pesta pernikahan impian. Rian menutup korannya dan mulai seksama mendengarkan. Kadang hanya manggut-manggut, kadang sesekali menambahkan detail acara, kadang pula hanya tersenyum memperhatikanku mengoceh sesuka hati. Lalu dia menutup ocehanku dengan sebuah pertanyaan ajaib mandraguna, "siapa yang bakal duduk bareng kamu di pelaminan?"

Aku langsung manyun, menatapnya dengan kesal... 'kenapa sih dia nanya itu?'
"Belum tau!" aku menjawab ketus. "Siapapun nanti yang duduk bareng gue, gue mau dia ga merokok, suka baca buku, dan bisa main sama anak-anak."
Rian tertawa, lalu bertanya "Kenapa?"
"Well, kalo dia merokok tandanya dia ga sayang sama gue dong... masa' iya gue diracunin tiap hari. Trus ya, kan enak gitu kalo punya suami suka baca, wawasannya luas, bisa sering-sering diskusi kan..."
"Kenapa harus bisa main sama anak-anak?"
"Ya biar dia ikut andil dalam ngebesarin anak-anak gue lah... emang sih, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya nanti, tapi tetep aja kepala sekolahnya sang ayah kan?
Rian tersenyum setuju. Lalu mengubah posisi duduknya sepenuhnya menghadap padaku. Berdehem dua tiga kali, lalu dengan lembut memanggil namaku.
"Rasti...."
"Hem... " aku masih sibuk dengan coretan di bungkus bekas tahu crispy.
"Gimana kalo itu aku?"
"Eh, apanya?" aku bingung.
"Darina Parasti, gimana-kalo-aku-yang-nemenin-kamu-duduk-di-pelaminan-?"ucapnya patah-patah.
Aku secara dramatis mengangkat kepala dan menatapnya. "Elo becanda jangan soal beginian dong.."
"Siapa yg becanda, aku serius kok. Aku merasa sudah memenuhi 3 syarat tadi. Pertama, aku ga pernah merokok. Kedua dan ketiga, kamu bisa tau sendiri lah, di rumahku ada berapa banyak buku dan adik-adikku, dan seberapa sering aku interaksi sama mereka.  Aku rasa kamu tuh harus dijaga dan sedikit diperbaiki, pelan-pelan dengan cinta pasti bisa. Dan aku mau ngelakuin itu, seumur hidup pun. Jadi, gimana... kamu mau jadi sekolah buat anak-anakku nanti?"

Merpati-merpati tadi sudah terbang pulang dan senja yang terbenam di sebelah barat sana sukses membuat pipiku semakin merona merah.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

20 Oktober 2013

Aku pelan-pelan menaiki tangga pualam putih menuju ruang resepsi.
Ruang resepsi itu megah,  dengan dekorasi dominan berwarna hijau-putih, seperti impianku.
Kain merah jambu panjang terpajang di pintu masuk, tempat para undangan bisa menuliskan doa dan harapan kepada sang pengantin, seperti impianku.
Ada rumpun bunga tulip putih segar di setiap sudut dan mengalun merdu lagu Teman Hidup dari Tulus, seperti impianku.
Semua tamu undangan yang datang duduk menikmati hidangan tersenyum bahagia, itu juga persis seperti impianku.
Ini sempurna resepsi pernikahan impianku... yang telah aku rancang dari bertahun-tahun lalu.

Rian terlihat paling bahagia. Tak henti-henti menebar senyum ke seluruh penjuru. Lalu saat melihatku, ia tertegun sebentar lalu senyumnya semakin lebar. Aku melambai sebentar ke arahnya dan bergerak maju menuju pelaminan.
"Selamat ya, Kin, Yan..." aku menyalami Kinar, adik juniorku di club sastra kampus dulu dan tersenyum pada Rian.
Kinar, yang tampak cantik sekali memakai gaun putih tersenyum, "Makasih ya mbak Rasti mau datang..."
"Iya, gue seneng banget Ras, elu dateng. Lu bareng siapa kesini?" tanya Rian.
Aku merasa ada jeda yang panjang. Aku mencoba tersenyum, dan menjawab, "Seperti biasanya lah... sendiri, Yan.. hhee.. gue seneng juga nerima undangan elu."

Tamu-tamu sudah banyak yang pulang. Aku yang ditahan agar tak pulang dulu oleh keluarga Rian akhirnya memilih duduk di kursi undangan dan membuka smartphone-ku, mengecek beberapa email yang baru masuk dari universitas tentang kepulanganku ke negara ini.
Kinar tampak sibuk meladeni teman-temen kuliahnya ngobrol di panggung, tertawa-tawa bahagia sambil sesekali membenarkan bouquet bunganya. Rian akhirnya memilih turun dari panggung dan duduk dua bangku di sampingku.

"Lu bakal lama disini, Ras?"
Aku tersenyum, memasukkan smartphone-ku dalam clutch toska yang kubawa dan menggeleng, "Nggak, Yan...kemungkinan gue bakal balik lusa, ga dapat ijin cuti lebih dari universitas nih.."

Rian ber-ooooh panjang. Lalu diam. Aku juga diam. Ada sepi panjang  dan dingin yang menerjang..

Akhirnya aku kalah melawan perasaanku, aku pamit pada Rian, pada Kinar, pada keluarga Rian yang menyerah membujukku tetap tinggal.
Aku tak mampu tetap di sana. Semakin lama melihat semua detil pesta pernikahan ini semakin getir dan sakit hatiku. Dan tentu saja fakta yang paling menyakitkan adalah, bukan aku yang duduk bersama Rian di pelaminan. Bukan aku.

Waktu dan jarak memang bisa merubah perasaan hati manusia. Perasaan hati Rian tepatnya. Dua tahun lalu aku memutuskan mengambil schoolarship S2 ke Finlandia. Rian juga ambil S2, tapi tetap di Indonesia sambil menjaga orangtuanya. Kesibukan kami di tahun kuliah membuat komunikasiku dengan Rian semakin renggang seiring waktu. Lalu berhenti sama sekali. Dan minggu lalu sebuah undangan tiba di flatku. Undangan yang membuatku berada di sini hari ini, undangan pernikahan Rian.

Setengah berlari aku menuruni tangga keluar gedung, menahan air mata yang hendak tumpah ruah sedari tadi. Pandanganku semakin kabur dan akhirnya aku jatuh di undakan tangga terbawah yang licin. Aku tak kuat lagi menahan air mata, ia lolos bertetes-tetes melewati pipiku. Aku bahkan tak sanggup lagi berdiri. Aku menangis sendiri di bawah hujan. Bahkan, menikah di musim penghujan seperti ini adalah impianku.


Read More...

Senin, 17 Juni 2013

(.....)

Leave a Comment
Ini adalah sore paling weird yang pernah saya jalani. Hanya berniat keluar bermotor sebentar untuk beli makanan ifthar (berbuka puasa sunah). Seperti biasa, keluar kostan 1 jam sebelum adzan maghrib bergema dengan harapan bisa segera pulang setelah mempertimbangkan sore adalah jam sibuk jalanan dimana para pegawai pulang dari kantor dan para pelajar wira-wiri di jalan.

Tapi ekspektasi memang tak selalu sesuai kenyataan yah... jalan Gajayana - M.T. Haryono - Soekarno Hatta macet luar biasa. Stuck di jalan hampir 45 menit dan makanan belum terbeli.   Mungkin pengaruh lapar karena tak sahur, tangan mulai kram, pikiran sulit fokus, dan kadang motor pun terasa berat dan tak seimbang. Akhirnya melipir ke jalan Simpang Gajayana dengan harapan macetnya hanya di jalan arteri. Tapi harapan tinggal harapan. Simpang Gajanaya juga macet tak terkendali.. dan telinga ini menangkap kumandang adzan. Ah... I need some water and calories, mampir ke indomart Kalijaga beli minum dan coklat, ifthar di depan indomart seperti yang sering saya dan kakak lakukan dulu saat mudik lebaran ke rumah nenek. Karena benar-benar lemas dan dan haus, saya tak memperhatikan nota dan uang kembalian dari kasir. 

Setelah itu saya ke masjid Muhajirin untuk shalat maghrib, sekali lagi, makanan belum terbeli. Setelah shalat, barulah saya membeli makanan, saat akan membayar itulah baru saya menghitung uang kembalian dari indomart tadi. Kok selisihnya banyak ya? Ngecek notanya, Pocari Sweat dan..... SAMPOERNA. gilak!! Sejak kapan saya beli rokok??! ah, edhun lah... orang kelaparan gini jadi ga fokus dan ga teliti. Jadi ya saya balik ke indomart tadi buat complaint. Kalo terhitung barang lain mungkin saya juga males balik lagi cuma buat komplen, tapi ini tertulis rokok di notanya, dan saya ga terima, sungguh.

Sebelum pulang masih harus mampir ke SPBU karena macet tadi sukses nyaris mengeringkan tangki bahan bakar motor saya. Setelah itu pulang tapi ga ke rumah, ke kostan lah ya, dan baru masuk gang depan, muadzin masjid Tarbiyah sudah menggemakan adzan isya. Saya lemes. Mungkin baru saya ini orang yang keluar buat beli makanan untuk ifthar, tapi  baru dimakan setelah  shalat isya.

Sedih. Ini Malang ya? Malang sekali nasibnya, jadi sering banget macet dan banjir juga... :(
Ah, kalo kang Ridwan Kamil akhirnya pun tak terpilih di Bandung, jadi walikota Malang sajalah ya..
Read More...

Rabu, 12 Juni 2013

ketika... (sebuah Kontemplasi)

Leave a Comment
Beberapa lama menjalani kehidupan yang serba enak membawa kekhawatiranku pada mental sulit susah yang mungkin tengah aku rasakan saat ini..
Mungkin alam lah yang senantiasa bisa menyeimbangkannya..

Jika mau merenung sebentar, teringat kedua orangtua yang setengah mati mencari uang di puluhan ribu kilometer disana. Dan dengan satu kali telepon bilang perlu beli gadget terbaru, aku mendapatkannya.

Dulu dibelikan nasi goreng dan martabak pinggir jalan saja rasanya sudah sangat mewah. Saat ini jamuan hidangan makanan mahal mulai terbiasa memenuhi mulut ini.

ketika makan makanan mahal tak lagi terasa lezat.

ketika berdoa di sepertiga malam tak lagi terasa khusyuk.

ketika ifthar tak lagi terasa nikmat.

ketika mengeluarkan uang dengan jumlah tak wajar untuk sekedar merk tak terasa sayang.

ketika merasa tak sempat lagi mendoakan orangtua dan kawan.

 aku bertanya-tanya, kenapa aku ini?

mungkin karena makanan mahal sudah jadi langganan perut.

mungkin karena di sepertiga malam aku lebih sering terlelap.

mungkin karena aku tak tahan menahan nafsu saat shaum.

mungkin karena aku sering berbangga dengan apa yang nampak di luar.

mungkin karena aku lupa siapa yang tak pernah berhenti mendoakanku.

Aku ingin kembali. Hidup sederhana lagi..
Mengajarkan anakku akan kesederhanaan..

Dan tumbuh dalam kondisi mengerti keadaan mayoritas kehidupan masyarakat indonesia..
Ya Allah...perkenankan pikiranku tetap melangit namun jaga hatiku agar terus membumi..


Read More...

Jumat, 07 Juni 2013

why I love 'Hujan Bulan Juni'?

Leave a Comment
alhamdulillah... sudah masuk bulan Juni. Bulan yang saya percaya selalu membawa kebaikan, sama seperti bulan-bulan lainnya. 
Beberapa hari di awal bulan ke-6 tahun masehi ini hujan masih sering singgah, hampir setiap hari.... dan ini mengingatkan saya pada puisi paling keren dan membekas, puisi karya salah satu maestro  Indonesia, Pak Sapardi Djoko Damono. 


HUJAN BULAN JUNI

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu                        

1989
(Hujan Bulan Juni  – hal. 90)


Indah ya....
Saya pertama kali membaca puisi ini dari buku perpustakaan sekolah yang saya pinjam saat jam istirahat saat saya duduk di bangku kelas VII Sekolah Menengah Pertama (info penting!). Sejak saat itu, saya langsung jatuh cinta pada Pak SDD beserta puisi-puisinya, dan sampai sekarang pun saat hujan pertama jatuh di tanggal 4 Juni 2013 kemarin, saya langsung teringat pada puisi ini. 

Kali ini saya mau mengungkapkan ketertarikan saya di balik puisi ini...yah, dengan keterbatasan ilmu saya tentang puisi dan sastra. Toh, ini cuma pengakuan pribadi mengapa saya jatuh cinta.
Yang pertama adalah dari makna puisi ini sendiri. Menurut pemahaman saya, puisi ini bercerita tentang cinta yang terpendam, cinta yang tak terkatakan. Cinta seorang 'hujan' kepada 'pohon berbunga'. Entah kenapa saya hampir selalu tersentuh dengan jenis cinta seperti ini, cinta yang sengaja tak disampaikan, karena memang merasa belum pantas, karena ingin menjaga perasaan masing-masing, dan karena ingin menjaga kesucian cinta itu sendiri. Dan di zaman sekarang, zaman dimana orang-orang bisa menyatakan cinta segampang beli teh gelas di indomart.. saya semakin aware dengan sikap dan prinsip ini. Ini memang ada dalam ajaran agama saya, dan saya yakin apa yang diperintahkan dalam agama saya adalah yang terbaik.  

Tau kan kisah cinta Ali dan Fatimah? Mereka yang memendam rapat-rapat perasaan, sampai setan pun tak tau, akhirnya pun bisa berjodoh. Kita sering lupa, bahwa masalah cinta dan jodoh tak hanya tentang 'aku dan kau', tetapi ada campur tangan Allah disana. Dan saya sangat percaya, skenario yang Allah tuliskan jauh lebih ciamik dan indah daripada roman sekelas Romeo and Juliet karya Shakespeare yang melegenda sekalipun.
Lah, ini saya nulis opo to?  ok, back to topic, puisi Hujan Bulan Juni.

Yang kedua adalah tentang pemilihan kata atau diksi dalam puisi ini. Hujan adalah kata yang sempurna untuk menggambarkan sosok seorang pecinta. Hujan itu sempurna menjadi pelaku. Dia selalu turun beramai-ramai (ya iyalah.. bukan hujan namanya kalo cuma turun setetes), bukti cintanya yang banyak. Selalu memberi dan tak mengharap balasan. Meski pohon berbunga itu tak pernah tau bahwa hujan yang menyokong hidupnya menaruh bibit rindu di setiap tetes rintiknya. Menjadikan hujan sesosok yang tabah, bijak, dan arif.

Dan yang terakhir adalah tahun kelahiran puisi ini sendiri. Puisi Hujan Bulan Juni diterbitkan sekitar tahun 1989, dan meski saya belum lahir saat itu, saya yakin bahwa pada zaman itu cuaca dan musim masih normal, belum kentara kena anomali cuaca akibat efek global warming. Musim hujan sekitar bulan September-April, dan musim kemarau terjadi antara bulan April-September. Pada waktu itu bulan Juni masuk pada musim kemarau, dan hampir tidak ada kemungkinan bakal turun hujan. Tapi pak SDD memilih hujan turun di bulan Juni dalam puisinya. aah..menurut saya ini cerdas sekali. 

Well, adakah kalian yang mencintai seperti hujan bulan Juni?  

Read More...

Rabu, 05 Juni 2013

(belum ada judul)

Leave a Comment
Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah obrolan yang lebih mirip curhatan antara 2 anak manusia, tercetuslah sebuah kalimat, "ya seenggaknya elu kan udah terbina, tinggal nunggu dijadiin bini kan?"

Lawan bicaranya tercekat, hah? maksud lu? 


Apa gara-gara gue rajian update tulisan tentang cinta dan pernikahan ya? Itu kah?

Yaelaaaah, brooooo... ini nih, susah ya ngomongin cinta sekarang... bawaannya pasti dikira galau nikah mulu.  Kaya'nya cinta udah mengalami spesialisasi atau penyempitan makna kata deh.

Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia arti cinta adalah:
cin·ta a 1 suka sekali; sayang benar: orang tuaku cukup – kpd kami semua; -- kpd sesama makhluk2 kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan): sebenarnya dia tidak -- kpd lelaki itu, tetapi hanya menginginkan hartanya3 ingin sekali; berharap sekali; rindu: makin ditindas makin terasa betapa -- nya akan kemerdekaan4 kl susah hati (khawatir); risau: tiada terperikan lagi -- nya ditinggalkan ayahnya itu;


Nah, keliatan kan... cinta itu ga terbatas pada cinta antara laki-laki dan perempuan (yang lebih suka gue sebut 'asmara') aja. Ada juga cinta kepada Allah (mahabbatullah), cinta kepada Rasulullah, cinta kepada orangtua, cinta kepada saudara/i, cinta kepada adik-adik binaan, cinta kepada alam, 
dll. 

Trus, kenapa juga gue sering ngetweet atau ngereblog hal-hal yang berbau pernikahan, sampai rajin ikut seminar atau sekolah pra nikah??
hahaaa, ini sih lain alasan. Mau tau? Keep calm, minum dulu gih teh nya...

Udah habis teh nya? Yaudah, berarti udah habis juga pertemuan kita kali ini... sampai jumpa lain waktuuuuu.... 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*dimutilasi yang baca* 

eh, ga jadi... becanda aja kali.

Sini, sini... mendekat. Gue kasih tau kenapa gue rajin ikut seminar dan sekolah pra nikah.
Emmm... sebenarnya gue ga menemukan sesuatu yang aneh sih, menurut gue wajar-wajar aja kalo umur-umur segini (apalagi buat perempuan) udah mulai membicarakan dan menyiapkan tentang pernikahan. Dan salah satu persiapannya ya itu tadi, cari ilmu sebanyak-banyaknya tentang kehidupan pasca pernikahan, bisa melalui buku, artikel, sampai seminar atau sekolah pra nikah.

Ya soalnya kan gue belum pernah nikah sebelumnya tapi menginginkan pernikahan yang berkah, yang kalau bisa cuma terjadi sekali dalam seumur hidup, padahal hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita orang yang cerai di teve. 
Kehidupan nikah itu kan juga bukan hanya soal elo dan pasangan elo nantinya, tapi juga berkaitan dengan KUA, keluarga besar elo, keluarga besar pasangan elo, dan teman-teman kalian sekalian. 

Nah itu alasan pertama, yang kedua sih karena gue perempuan. Kata Quraisy Shihab, memang sudah menjadi fitrah perempuan untuk disayangi dan dijaga. Yah, bukan berarti gue sebagai kaum perempuan lemah sih... tapi ya memang kaum perempuan perlu dijaga, baik hati, iman, ataupun fisiknya. 

Yaudah sih, itu aja yang pengen gue sampaikan. Soalnya lucu aja liat orang-orang heboh dan mikir aneh tiap kali saya ngetweet atau ngereblog yang berbau pernikahan atau bilang mau ikut seminar pra nikah.

Pesan moralnya:
Nikah itu kan ibadah, seperti ibadah-ibadah lainnya juga yang perlu niat dan ilmu. Jadi ya wajib juga sih kita pelajari mulai dari menemukan jodoh yang syar'i, proses pernikahan yang Islami, dan menggapai kehidupan pasca pernikahan yang (insya Allah) berkah. Dan juga jangan suka membully temen elo yang mau belajar nikah ya... kalo dia ga kuat pendirian trus berhenti proses belajarnya, dan nanti ada masalah dalam kehidupan pernikahannya sedang dia tidak tau bagaimana menghadapinya, elo mau tanggung jawab??
*kyaaaaa... ga nyangka bisa nulis ini. gue kereeeeeen*



Read More...